Sebuah laptop keluaran terbaru dengan logo apel yang tergigit sudah tampak terbelah dua. Benda itu sudah dilempar sekuat tenaga hingga menghantam tembok oleh pemiliknya. Melampiaskan amarah setelah melihat namanya bergandengan dengan tulisan "Jangan putus asa dan tetap semangat" di layar itu sebelumnya.
Cukup satu kali ia melihat tulisan itu saat pengumuman SNBP kemarin. Dia tidak mempersiapkan mentalnya untuk disambut dengan hasil yang sama pada pengumuman UTBK kali ini.
Dia sudah mengorbankan semuanya.
Dimulai dari memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta dengan Mama agar SMA nya satu rayon dengan Universitas yang di tujunya. Mengikuti bimbel dan les privat hingga malam hari. Melewati hari - harinya dengan belajar sejak kelas satu. Hingga dia dijuluki ambis dan ansos oleh orang sekitarnya.
Namun hasilnya nihil. Ntah dimana letak kesalahan yang ia lakukan. Padahal setiap kali try out dia selalu mendapat skor yang sangat tinggi. Bahkan saat ujian pun dia merasa telah melewatinya dengan baik.
Jadi di mana letak salahnya?
"Arghh!"
Arya menjambak rambutnya dengan kuat hingga beberapa helai terlepas. Air matanya sudah mengalir. Melampiaskan segala rasa lelah dan frustasinya.
Jika saat ini ada yang mengatakan padanya bahwa ini bukannlah akhir dari dunia makan dia tidak akan segan memukul mereka. Karena ia telah merelakan dunianya selama tiga tahun penuh untuk satu ujian ini.
"Arya... Mama boleh masuk Nak?"
Suara lembut terdengar dari balik pintu yang tertutup rapat itu. Sebenarnya pintunya tidak terkunci. Tapi Mamanya selalu menghargai privasi dan meminta izin terlebih dahulu sebelum masuk.
"Masuk Ma."
Setelah mendapat izin ia segera memasuki kamar anaknya. Wanita dengan paras lembut itu menahan tangis melihat kondisi kamar itu dan putranya yang tengah terduduk di sudut kamar. Profesinya sebagai seorang psikolog seperti tidak ada gunanya saat ini. Sebagai seorang Ibu dan orang yang menyaksikan pejuangan Arya, hatinya ikut remuk dan hancur.
Sebenarnya tidak ada yang menuntut putra keduanya ini untuk harus masuk di universitas ternama. Baik dirinya maupun mantan suaminya yang merupakan Papa dari Arya. Tapi memang Arya adalah anak dengan kemauan yang keras. Tidak akan ada yang dapat mematahkan keinginannya.
Arya langsung menyambut pelukan Mamanya. Menyamankan dirinya dalam ceruk wanita itu. Usapan di punggungnya memberikan ketenangan pada jiwanya yang remuk.
"Maafi Arya Ma."
"Ngapai minta maaf? Arya udah lakukan yang terbaik." air matanya diusap dengan lembut.
"Mereka marah gak ya sama Arya Ma?"
"Siapa?"
"Abang, Papa, Adek..."
Arya bingung saat melihat mamanya tertawa. Kedua pipinya telah dicubit dengan gemas.
"Mana mungkin Ar, ada - ada aja kamu. Ini aja Abang udah nelponi Mama nanyai kabar kamu."
Hatinya sedikit lega. Setidaknya satu hal yang dia takutkan tidak terjadi.
Setelah orang tuanya berpisah empat tahun lalu, abang dan adiknya ikut dengan Papa ke Medan. Sedangkan ia yang saat itu sedang kelas tiga SMP tetap bersama Mama tinggal di Jakarta, sulit untuk mengurus kepindahan jika sudah kelas tiga.
Setelah lulus ia memutuskan untuk melajutkan SMA di Jakarta, dengan harapan menjadi putra daerah agar lebih mudah lolos SNBP. Meski tidak berhasil.
Terakhir kali ia menjumpai saudara dan Papanya di Medan adalah 3 tahun lalu saat libur setelah kelulusan SMPnya. Setelah itu ia fokus belajar selama SMA. Bahkan saat mereka mengunjunginya di Jakarta selama 3 hari, mereka hanya berjumpa saat sarapan. Dia tetap menyibukkan dirinya dengan berbagai Try Out. Jadi ia sangat takut mereka marah padanya karena sikapnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?