Soal Tambahan 5

532 89 27
                                    

Arya merasakan tubuhnya diguncang cukup keras. Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa berat. Di tengah kesadarannya yang belum sepenuhnya terkumpul, suara yang familiar terdengar memanggil namanya.

"Ayo bangun Ar. Katanya mau jalan pagi,"

Arya mengerjap beberapa kali, sedikit bingung. Rasanya ia baru terlelap sejenak. "Udah pagi memangnya?"

"Iya, udah jam enam. Ayo sebelum mataharinya tinggi," jawab Tama sambil menunjuk ke arah jendela. Di luar matahari belum bersinar terlalu terang, sangat cocok untuk jalan pagi di waktu seperti ini.

Arya mengangkat tubuhnya yang masih mengatanguk dari kasur, lalu ia meregangkan badannya. Ia mengamati Tama dari kepala hingga kaki. Abangnya sudah bersiap dengan jaket dan juga sepatu. Arya harus benar- benar memastikan bahwa abangnya dalam kondisi yang baik untuk jalan pagi. Tidak ada bengkak, ruam, napasnya juga terdengar teratur.

"Beneran lagi aman kan badannya?" tanyanya memastikan sekali lagi, mengingat abangnya memiliki kebiasaan untuk menahan rasa sakit dan selalu berkata tidak apa-apa setiap kali ditanya.

"Aman." jawab Tama sambil melompat beberapa kali. "Makanya ayo keluar, mumpung lagi sehat."

Arya langsung membelalakkan matanya saat melihat tingkah abangnya, ia lansgung mendekat dan menuntun tubuh kurus itu untuk duduk di tempat tidur. "Iya iya percaya. Gak usah lompat lompat."

Arya mengambil jaketnya dan mengganti celana pendeknya dengan celana olahraga. Tidak lupa ia mengambil sepatu dan memakainya sambil duduk si samping abangnya.

"Abil?" tanya Arya sambil mengukat tali sepatu saat menyadari adiknya tidak tampak sedari tadi.

"Katanya kita aja, dia skip."

"Bawa kursi roda aja ya buat jaga-jaga?" Arya tidak ingin abangnya kenapa - kenapa di tengah jalan karena kelelahan. Lebih baik ia membawa kursi rodanya untuk berjaga jaga.

"Nggak perlu Ar. Dibilang aman, ayo!" ucap Tama sambil bangkit kembali dan menarik adiknya keluar kamar.

Arya tersenyum. Ia merasa senang jika abangnya sedang sehat seperti ini. Sesuatu yang sangat mereka syukuri bersama karena cukup jarang dapat mereka nikmati.

Saat mereka keluar rumah, mereka disambut oleh udara pagi yang segar dan embun tipis yang masih menempel di dedaunan. Suasana pagi itu begitu tenang, hanya ada suara langkah mereka berdua dan kicauan burung yang bersahut-sahutan. Sepertinya tetangga di sekitar kontrakan mereka belum memulai aktivitas.

Arya terus merangkulkan tangannya di pinggang Tama dan membiarkan tangannya yang satu lagi sebagai tumpuan. Mereka berjalan dalam diam dengan tempo yang cukup lambat agar Tama tetap merasa nyaman. Sesekali Arya akan bertanya apakah abangnya ingin istirahat sebentar atau tidak.

"Kalau nanti udah jadi dokter, mau jadi dokter yang gimana?" tanya Tama tiba tiba pada adiknya. "Bakal ambil spesialiskan? Mau spesialis apa?"

Pertanyaan itu membuat Arya sedikit tertegun. Ia memandang abangnya, mencoba mencari tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Gak tau, belum kebayang mau spesifiknya. Kepala gue masih mau pecah mikiri UTBK. Tapi yang pasti, gue pengen jadi dokter yang bisa bantu orang-orang kayak abang,"

Tama tertawa kecil. "Yang sakit-sakitan kayak gue gitu maksudnya?"

Arya menunduk sedikit, merasa salah bicara. "Bukan gitu. Maksudnya... pengen bisa sembuhi orang yang sakit, setidaknya meringankan apa yang mereka rasakan."

"Kalau spesialis, gue masih bingung. Abang mau gue jadi spesialis apa? Yang pasti harus berhubungan sama penyakit abang." tanya Arya kembali. Karena ia memang belum bisa memutuskan.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang