15. Rambut

840 114 6
                                    


Pagi ini terasa lebih sejuk dari biasanya. Hujan terus mengguyur kota Medan sejak malam hari. Meski hawanya membuat siapapun ingin untuk tetap di tempat tidur, aktivitas harus tetap berjalan. Papa sudah berangkat kerja dan Abil sudah berangkat ke sekolah.

Arya sendiri sedang menikmati sarapannya yang cukup terlambat di meja makan saat ini. Sebentar lagi ia harus menemani Tama untuk melakukan fisioterapi.

Dengan bantuan walker, Tama bergerak perlahan dari kamar ke meja makan menghampiri adiknya. Mendengar langkah yang tertatih itu Arya langsung mempercepat makannya untuk menghampiri Tama, "Udah siap Bang? Kok gak manggil gue?"

"Udah dari tadi, tinggal nunggu lo siap sarapan aja. Pelan - pelan aja makannya." jawabnya dengan suara yang lembut.

Arya tetap menyudahi sarapannya dan menghampiri Tama untuk membantunya duduk. "Jangan lupa masker sama jaketnya Bang. Udaranya dingin dingin." katanya sambil menyerahkan masker kepada abangnya.

"Kalau emang sendi lo sakit, ditunda aja terapinya. Kata Papa lo sering banget maksai diri."

Tama mengenakan masker dan jaket dengan bantuan Arya. "Santai aja." ucapnya mencoba menenangkan Arya, meski di dalam hatinya ia tahu kekhawatiran adiknya itu beralasan. Udara dingin tidak terlalu bersahabat dengan tubuhnya.

Mereka berjalan perlahan menuju mobil, Arya dengan hati-hati memapah Tama. Sesekali ia menatap beberapa bagian kepala Tama yang tampak mengalami kebotakan. Rambutnya yang dulu tebal kini mulai menipis dan rontok karena pengobatan yang dijalaninya. Meskipun Tama berusaha menyembunyikan rasa sedihnya, Arya bisa melihat jelas bahwa kondisi ini mulai mempengaruhi Abangnya. Ia sering terlihat memandangi dirinya di depan cermin atau meratapi rambutnya yang berjatuhan di bantal.

Tama memandang keluar jendela mobil yang melaju pelan di jalan raya. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya yang terlihat sedikit pucat. Di sebelahnya, Arya, sedang fokus menyetir. Mereka dalam perjalanan menuju rumah sakit, suatu rutinitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupan Tama. Biasanya Papa harus izin kerja setengah hari atau Abil yang terpaksa izin sekolah. Karena sudah ada Arya, rutinitas itu diwakilkan olehnya.

Sesampainya di rumah sakit, Arya membantu Tama turun dari mobil dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam. Mereka tidak perlu berlama lama di ruang tunggu. Ia segera dipanggil masuk oleh terapisnya, sementara Arya diminta Tama untuk menunggu di luar. Ia tidak ingin Arya melihatnya kepayahan.

Sesi fisioterapi dimulai dengan latihan peregangan otot. Arya duduk di sudut ruangan tanpa sepengetahuan Tama, memperhatikan dengan penuh hikmat. Dia tahu betapa pentingnya terapi ini bagi Tama, meskipun kadang ia ingin meminta Tama berhenti saja setiap ia tampak mengernyit menahan sakit.

Setiap kali Tama tampak hendak terjatuh atau kesakitan Arya berdiri dan rasanya dia berlari ingin mneghampiri. Tapi abangnya memberikan kode agar dia tetap di tempatnya saja, alhasil Arya kembali duduk dan hanya dapat mengamati dari kejauhan. Ia menunggu sambil megopek kulit di sekitar jarinya hingga berdarah, kebiasaannya jika sedang cemas. Tanpa ia sadari Tama memperhatikan setiap gerak gerik yang sedang ia lakukan.

Setelah hampir satu jam, sesi fisioterapi selesai. Terapis memberikan beberapa pesan tambahan untuk Tama dan Arya, mengingatkan agar ia terus berlatih di rumah. "Ingat, tetap rajin peregangan. Tapi kalau memang badannya lagi gak enak, jangan dipaksa ya. Dijaga ya Abangnya," pesan sang terapis sambil menepuk pundak Arya dengan lembut.

"Terima kasih," jawab Arya dengan tulus.

Setelahnya mereka kembali ke parkiran, Tama hanya diam saja. Sepertinya ia merasa lelah dengan sesi terapi yang sangat menguras tenaganya itu.  "Lo mau langsung pulang atau ada mau ke tempat lain dulu Bang?" tanya Arya sambil membantunya kembali duduk di dalam mobil. Ia juga mengangsurkan tisu agar Tama dapat mengelap keringatnya.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang