Sudah memasuki bulan kedua Tama menjalankan rutinitas barunya. Cuci darah setiap tiga kali dalam seminggu. Ketakutan mereka menjadi kenyataan, ginjalnya merngalami kerusakan.Berita baiknya, dokter mengatakan gagal ginjal yang Tama alami adalah akut, bukan kronis. Masih ada harapan ginjalnya membaik setelah diistirahatkan dengan cuci darah. Tentu tidak sebentar, mungkin butuh satu hingga dua tahun hingga kondisinya membaik.
Walkernya tidak pernah tersentuh lagi karena ia kembali tidak mampu berdiri apalagi berjalan. Tubuhnya sekarang sangat lemah dan kembali kurus kering. Ia harus dibopong kemana mana dan hanya dapat berbaring jika tidak dibantu. Tempat tidur di rumahnya juga sudah diganti dengan tempat tidur elektrik seperti di rumah sakit.
Pernapasannya juga kembali memburuk. Nassal cannula terus terpasang di hidungnya, bersaing dengan selang makan yang juga berada di sana. Ia juga harus dipasangi kateter untuk memantau urin yang dihasilkan oleh tubuhnya. Semakin banyak saja teman baru yang terpasang di tubuhnya.
Kerusakan ginjalnya kembali membuat ia mengalami hipokalemia, kurangnya potassium dalam tubuh. Untungnya kali ini cepat tertangani. Ia tidak harus kembali bertarung dengan kelumpuhan. Hanya saja ia kembali sulit menelan dan ototnya yang belum sepenuhnya pulih kembali melemah.
Saat ini Arya yang paling sering menemaninya untuk cuci darah, bahkan hampir tidak permah absen. Dengan sabar adiknya itu memijat kakinya dan melakukan berbagai hal agar ia nyaman selama empat jam menunggu darahnya keluar masuk dari mesin hemodialisis. Padahal Tama sudah meminta agar Arya menunggu di kafe atau kantin rumah sakit saja, tapi adiknya itu tidak mau.
Terkadang Tama ingin sekali seperti orang orang yang dapat pergi dan pulang melakukan cuci darah seorang diri. Ia merasa bersalah membuat aktivitas keluarganya terganggu karena rutinitas barunya ini. Meski ia memiliki perawat pribadi, keluarganya tetap selalu turun tangan langsung untuk segala kebutuhannya. Mas Adi sampai tidak enak hati karena seperti merasa mendapat gaji buta dari keluarga yang sangat baik ini.
Tama tidak dapat membayangkan jika saat ini masih tinggal dengan Papa. Ia tidak tega Papa harus memikirkkan biaya cuci darahnya yang tidak murah, mengantaranya pulang pergi, belum lagi kondisinya yang tidak berdaya ini. Mungkin memang sudah saatnya Papa pergi agar tidak terbebani oleh dirinya lagi.
"Alhamdulillah hari ini udah selesai, kita pulang ya Bang?" ucap Arya lembut sambil membenarkan posisi bantal yang menyangga kepala Tama. Ia juga meletakkan handuk kecil yang menampung liur yang mengalir.
"Pusing... turun lagi..." keluh Tama lirih.
Arya langsung menurunkan sandaran kursi roda itu. Setelah kembali memastikan abangnya nyaman, ia mulai mendorong kursi roda abangnya menuju parkiran. Ia mendorongnya perlahan, berusaha agar tubuh ringkih itu tidak terlalu berguncang.
Begitu tiba di parkiran Arya kembali menggendong tubuh Tama ke kursi depan. Sekarang Arya tidak pernah menggunakan mobil kesayangannya lagi. Ia memilih menggunakan mobil yang dipersiapkan oleh Mama, sebuah mobil MPV dengan bangku yang sudah dimodif agar abangnya dapat lebih nyaman diperjalanan.
"Ujiannya.... sebentar lagi.... Abang cuci darah... sama Mas Adi aja..." ucap Tama di tengah perjalanan pulang.
"Masa abang sendiri? Gakpapa aku temani."
"Gak sendiri Ar... sama Mas Adi." jawab Tama pelan.
"Sendiri hitunganya itu." jawab Arya dengan tegas
"Arya..." pangil Tama lagi kepada adiknya, berusaha memelas agar Arya luluh.
"Pokoknya gak mau." ucap Arya sambil tetap menyetir. Tanpa sadar bibirnya maju beberapa mili, membuat Tama terkekeh pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?