7. Serangan

1.5K 159 6
                                    

Pagi ini terasa lebih tenang dari biasanya. Seluruh penghuni rumah melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Seperti biasa, Papa yang menjadi imam. Suaranya yang lembut namun tegas terdengar memimpin sholat.

Setelah salam diucapkan dan sholat berakhir. Ketenangan pagi ini juga ikut berakhir, digantikan dengan suara kepanikan.

"Bang!" teriak Arya dan Abil serentak.

Putra sulung keluarga itu oleng ke samping dengan mata yang tertutup. Wajahnya yang pucat dengan ruam kemerahan di sebelah kanan wajahnya sudah dibanjiri keringat. Untung saja Arya cukup cekatan menangkap tubuh itu sebelum membentur lantai.

"Ambil obat sama minyak telon Bil."

Abil langsung berlari sesuai arahan Papa. Saat ia kembali Tama surah berbaring dengan paha Papa sebagai bantalan, sedangkan kakinya diposisikan lebih tinggi oleh Arya dengan kursi yang ia pakai untuk sholat tadi sebagai penyangga.

Tangan Tama menggengam erat dada sebelah kirinya. Sendi di setiap jarinya tampak membengkak. Napasnya terdengar berbunyi.

"Istighfar nak... tarik napasnya pelan - pelan..." Papa sudah membaluri leher sampai dada dengan minyak telon. Sedangkan Arya berusaha melepaskan genggaman Tama.

"Argh!" Abangnya berteriak kesakitan saat tangannya dilepas paksa. Arya mengelusnya dengan lembut. Berharap sel imun Tama berhenti menyerang tubuhnya secara brutal.

"Tama bisa dengar Papa?"

Mereka semua seperti dapat bernapas lega saat Tama mengangguk dengan mata tertutup menjawab pertanyaan Papa.

"Butuh obatnya?" Tanya Papa kembali sembari menghapus bulir keringat yang mengalir. Abil sudah bersiap - siap dengan seluruh obat jika diperlukan.

Tama menelan ludahnya kasar sebelum menjawab, "Cuma pusing Pa..." dia membuka matanya sejenak dan menyesali melakukannya. Semuanya tampak berputar. Tubuhnya sakit semua. Dia berharap benar - benar pingsan saja agar tidak merasakan rasa sakit. Tapi dia juga tidak ingin membuat keluarganya khawatir.

"Pa..."

"Iya Tam? Apa yang sakit?"

"Nanti telat kerja Pa... Abil juga..."
Tidak terasa mereka sudah cukup lama dalam posisi ini. Mungkin sudah hampir setengah jam.

Hendra cukup dilema, tidak tega meninggalkan anaknya di rumah hari ini. Tapi kalau dia mengambil cuti lagi, gajinya akan dipotong.

Sejak pulang dari berjalan - jalan dengan adiknya kemarin kondisi Tama tidak kunjung membaik, bahkan semakin parah. Dia masih lemas dengan seluruh tubuh yang terasa sakit. Setiap sendi ditubuhnya semakin bengkak. Napasnya juga terengah. Ditambah ruam yang muncul di lengan dan wajahnya menandakan sistem imunnya sedang berulah kembali.

Pagi ini Hendra juga sudah menawarkan agar putranya itu sholat di tempat tidurnya dalam keadaan berbaring saja. Tapi ia bersikeras bahwa telah merasa membaik. Saat berjalan keluar saja kedua adiknya harus memegang tubuhnya dikedua sisi. Setiap langkahnya ia meringis kesakitan.

"Ada aku Pa, aku bakal jaga Abang. Papa sama Abil siap - siap aja." Arya yang masih memijat pelipis Tama mengingatkan keberadaannya di rumah ini. Dia bingung kenapa tidak ada yang mencoba membawa Tama ke rumah sakit. Ia rasanya ingin segera berlari mengambil kunci mobil dan menggendong Tama untuk segera ke rumah sakit.

"Kita ke kamar dulu ya Tam, biar kamu bisa isitirahat." Papa memberi kode kepada Arya dan Abil untuk membantu Tama duduk. Arya menegakkan tubuh Tama, abangnya sudah bersandar lemas sambil terus merintih. Seperti saat mereka makan kemarin. Membuatnya kembali merasakan ketakutan yang sama.

"Angkat aja Ar, jangan jalan." Abil sudah mengambil ancang - ancang untuk mengangkat kaki Tama. Arya yang paham juga mengangkat tubuh atas Tama.

Perlahan mereka mengangkat tubuh Tama, berusaha tidak menyakiti sendi - sendinya yang sedang meradang hebat. Mereka lalu membaringkan Tama di tempat tidur. Meletakkan bantal dibawah lutut dan mengatur posisi tubuhnya agar lebih nyaman.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang