23. Rindu

783 128 30
                                    


Selamat Idul Adha \(^v^)/

===

Tes... tes... tes...

Suara air yang menetes melalui atap rumah mereka yang bocor menjadi musik pengiring malam ini beriringan dengan bunyi hembusan oksigen yang teratur. Medan diguyur hujan deras setiap malamnya beberapa hari ini. Awalnya hanya ada dua titik kebocoran di kontrakan baru mereka, tapi malam ini sepertinya bertambah satu lagi.

"B-bo c-co" ucap Tama terbata ingin memberitahukan bahwa ada air yang menetes di belakang Papanya. Air liurnya ikut menetes dari sudut bibirnya saat ia berbicara.

"Iya Tam, sebentar ya adiknya cari ember sama kain lap." Papa kembali menyodorkan bubur halus itu di depan bibir Tama. Tama menyambutnya dengan membuka mulutnya selebar yang ia bisa.

Meski makan sambil berbaring, Hendra tidak perlu khawatir bantal yang dipakai putranya akan kotor, ia telah meletakkan handuk kecil sebagai alas makanan yang tumpah. Ia hanya perlu membersihkan dagu dan mulut putranya.

Hendra cukup percaya diri mengatakan bahwa kehidupan mereka secara ekonomi telah membaik. Sudah sebulan sejak ia mendapat pekerjaan baru itu. Sang pemilik rumah sangat bermurah hati memberikannya uang transport dan uang makan, sehingga dapat ia gunakan untuk membayar sewa kontrakan.

Kontrakan mereka yang baru ini harganya juga sangat miring, meski bangunannya sudah cukup tua dan sempit.  Tapi setidaknya mereka tidak keteteran lagi untuk membayar listrik dan uang makan.

Hanya saja yang tidak kunjung membaik adalah kondisi putra sulungnya. Ia telah membawa Tama ke rumah sakit dan menjalankan serangkaian tes. Tidak perlu menunggu sebenarnya untuk mengetahui imun anaknya semakin nakal. Dokter mengatakan akan menggunakan kombinasi obat chemo melalui intravena kali ini. Tapi mereka harus membiarkan tubuh Tama beristirahat dan sedikit pulih dulu. Selain karena arahan dari dokter, Hendra juga tidak tega tubuh ringkih putranya lagi - lagi harus dihantam obat keras.

Tama juga membutuhkan fisoterapi. Biasanya terapi rutinnya hanya agar sendinya tidak kaku dan semakin kudah untuk digerakkan. Tapi kali ini Ia harus kembali belajar berjalan, duduk, makan, dan bicara. Tubuhnya yang selalu meradang dan tidak dapat digerakkan mengalami kelemahan otot dan hampir mengalami kelumpuhan. Ditambah osteoporosis sekundernya yang memperparah keadaan.

Kadar potassium dalam tubuh putranya juga ikut menurun karena autoimmune yang dideritanya. Membuat jantung yang lemah itu berulah lagi. Ia juga menjadi sulit bernapas, selang bening yang mengalirkan oksigen kini tidak pernah absen dari hidungnya. Selain itu syarafnya juga ikut terganggu, membuatnya sulit berbicara dan menelan. Bahkan menelan air liurnya sendiri ia kesulitan. Tidak jarang salivanya mengalir diluar kuasanya.

Saat dokter menyampaikan seluruh berita itu Hendra lah yang menangis dan hancur. Sedangkan Tama? Ia hanya berujar maaf karena akan harus banyak dibantu dan semakin merepotkan. Putra sulungnya lebih mengkhawatirkan perasaan orang - orang disekelilingnya. Bahkan saat kedua adiknya tahu, ia sibuk menghibur mereka berdua di tengah penderitaanya sendiri.

"P-pa..." panggilan yang lirih itu membuyarkan Hendra dari lamunannya.

"Maaf Nak, Papa melamun,"

Hendra kembali mengaduk isi mangkuk bubur itu dan kembali menyuapkannya. Tapi kali ini bibir pucat itu tetap terkatup.

"Kenyang?"

Tama mengangguk. "T-ti d-du."

Sebetulnya ia masih ingin menghabiskan waktu di ruang tamu, jika ia mengatakan ingin tidur ia akan diangkat ke kamar. Tapi jika tidak begini, Papanya tidak akan istirahat dan terus menjaganya.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang