Sesuai janjinya, Mama tiba di rumah sakit tepat jam 7 malam ditemani Om Ranu, suami Mama sekarang. Ia membuka pintu dengan tergesa dan langsung berlari meuju ranjang tempat Tama berbaring.
Setiap senti wajah Tama sedang diciumi oleh Mama yang sudah berderai air mata. Wajah yang biasanya selalu terbalut riasan tipis kini tampak apa adanya, namun tidak mengurangi kecantikan wajah itu. Tetap tampak sejuk dan menawan. Jilbab yang dipakai Mama juga hanyalah bergo biasa berwarna hitam. Tidak seperti model jilbabnya sehari - hari yang dihiasi berbagai pin yang dikoleksinya. Melihat ini membuat Tama sedih, lagi - lagi ia menyusahkan dan membuat kehebohan.
Mama duduk di kursi samping ranjang Tama, tangannya mengelus wajah pucat putranya yang sedang tersenyum memandanginya, "Kok senyum - senyum sih. Mama khawatir banget ini..."
"Mama cantik banget soalnya." puji Tama dengan suara seraknya. Dia terserang demam, lagi. Suhu tubuhnya mendadak meningkat saat menjelang sore.
"Apanya yang cantik, kayak Ibu Ibu. Pake lipstick juga nggak sempat."
"Mama memang udah Ibu ibu..."
Mereka berdua terkekeh. Seisi ruangan membiarkan kedua Ibu dan anak ini menawar rindu.
"Kok gak bilang kemarin sempat flare up sampe di rawat Tam, katanya kamu juga pingsan di kamar mandi... Ini kalau gak masuk notif dari credit card Arya kamu pasti gak mau kabari Mama juga." Air mata kembali mengalir deras di wajah itu. Menyesali kelalaiannya sebagai orang tua.
"Maafkan Mama ya sayang, padalah kita telponan terus. Tapi Mama gak sadar, Mama juga harusnya mantau terus kabar kamu."
"Bukan salah Mama, aku memang sengaja nutupi supaya Mama gak khawatir. Arya juga lagi mau ujian waktu itu." ia usap wajah wanita yang melahirkannya itu dengan lembut. Tapi gerakannya langsung dihentikan, tangannya diletakkan kembali di samping tubuhnya. Karena Mama tau setiap pergerakan yang dia buat akan menimbulkan rasa sakit.
Mama mengambil tisu dan membersihkan wajahnya sendiri, "Sekarang anak Mama yang kuat banget ini lagi ngerasai apa? Jujur sama Mama. Jangan kebiasan ditahan ya sayang, biar Dokter juga tau ngobatinya gimana."
"Cuma lemas sama pusing Ma." Mama menatapnya dengan tidak percaya.
"Sama sesak, badanku udah gak sakit. Tadi dikasih penahan sakit." jawab Tama lagi untuk meyakinkan. Memang benar sekarang sendinya tidak terlalu nyeri, malah dia merasa seperti melayang karena sepertinya pereda nyeri yang digunakan golongan yang cukup keras.
Mama mengangguk percaya lalu mengecup kembali kening Tama dengan lembut. Ia lalu merubah posisi duduknya menghadap ke Hendra, mantan suaminya yang sedang duduk di sofa bersama kedua putranya, "Jam berapa dokter visit?"
"Sebentar lagi harusnya. Tadi udah visit, tapi untuk penjelasannya nunggu kamu sampai dulu." Mama mengangguk paham, tadi ia memang berpesan agar dia mendengar langsung mengenai kondisi anaknya.
Sesuai perkiraan, Dokter datang tidak lama kemudian dengan seorang perawat. Beberapa hasil lab dan MRI sudah ada ditangannya. Siap memberikan penjelasan mengenai pasiennya di ruangan itu.
"Ar, Bil. Kalian kan belum makan dari siang. Makan aja dulu keluar." Tama mencoba agar kedua adiknya tidak ikut mendengarkan hasilnya yang ia yakini tidak baik. Meski ia tau kedua adiknya bukan lagi anak kecil yang mudah untuk ditipu.
"Ayo kita keluar, Om juga butuh kopi." Om Ranu merangkul dan menggiring mereka berdua keluar meski suara protes terus terdengar. Ia sempat mengedipkan sebelah matanya ke Tama sebelum meninggalkan ruangan. Tama memberikan senyum sebagai ucapan terimakasih.
"Baik, kita langsung saja ya." ucap sang Dokter memulai, ia sengaja menunggu suasana kondusif terlebih dahulu karena apa yang akan disampaikannya cukup rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?