9. Berjuang

1.1K 133 2
                                    

Tama terbangun saat tengah malam, kamar rawatnya sangat gelap karena lampu yang sudah dimatikan. Tapi Ia masih dapat melihat Om Ranu yang sedang membenarkan letak selimut Mama yang tertidur di sofa.

Sebenarnya peraturan dari rumah sakit hanya membolehkan satu keluarga saja yang menemani pasien. Tapi semuanya tidak ada yang mau mengalah. Alhasil mereka mengendap - ngendap untuk tetap berada di kamar Tama malam ini. Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan mengingat prosedur yang akan Tama lewati besok hari akan cukup sulit. Semuanya bertebaran di seluruh penjuru kamar. Mama tertidur dengan posisi duduk di sofa, Abil tampak berbaring dengan kepala di pangkuan Mama. Sedangkan Arya berada di ujung tempat tidur, tadi ia memijat kakinya hingga terlelap. Papa memilih mengambil posisi di kursi pojok ruangan. Posisi mereka semua tampak tidak nyaman.

"Kenapa kebangun Tam? Butuh sesuatu?" Om Ranu setengah berbisik mendekati Tama.

"Om, Aku boleh minta tolong gak?"

"Ada yang gak nyaman Tam?" tangannya sudah siap untuk memencet tombol untuk memanggil perawat.

Tama menggeleng, "Selama aku di ruang operasi dan selama Aku belum sadar, tolong jagai Mama sama Papa ya Om. Tolong pastikan mereka istirahat dan gak lupa makan. Mama juga kalau ada client dan mau balik ke Jakarta juga gakpapa Om. Kata Dokter Aku juga bakal di ICU beberapa hari, kasian Mama harus di sini terus. Om kalau mau balik juga gapapa, tapi tolong temani Mama ya." pinta Tama cukup panjang dengan napas yang berat. Membuat Ranu tidak tega mendengarnya.

"Untuk jaga Mama sama Papa kamu, pasti Om lakukan. Jagai Abil dan Arya juga. Tapi Om gak bisa kabulkan permintaan kamu untuk suruh Mama kamu balik ke Jakarta. Om malah bakal marah besar kalau Mama kamu lebih milih client daripda jagai kamu Tam. Om aja gak mau ninggali kamu sendirian, apalagi Mama."

Tama lega mendengarnya. Dia sangat bersyukur. Akhirnya Mama menemukan orang yang tepat. Jika suatu saat terjadi hal buruk padanya, akan ada Om Ranu yang menjaga semuanya.

"Makasih ya Om. Maaf Tama belum bisa manggil Om dengan sebutan yang seharusnya..."

Ranu mengelus kepala putra tirinya itu, sambil berdoa dalam hati seandainya dia diberi kesempatan. Ia ingin mendapat anak yang sangat berbakti seperti ini. "Gak masalah, Om paham. Makasih ya Tama udah mengizinkan Om berada di antara kalian."

===

"Terus berdoa ya sayang. Kami di sini juga terus berdoa buat Tama." Bisik Mama lembut di samping telinganya. Tangannya mengelus dada Tama, tangannya dapat merasakan keloid yang memanjang bekas operasi lima tahun lalu. Sekarang dada itu akan kembali disayat dan dibuka.

Operasinya hampir dibatalkan hari ini karena tekanan darahnya yang melonjak tinggi. Meski tidak tampak, cemas yang ia rasakan berdampak pada tubuhnya. Tapi untungnya setelah istirahat beberapa jam kondisinya membaik dan dokter memutuskan operasi harus tetap dilaksanakan. Bagaimanapun juga tumor itu harus secepat mungkin dibiopsi agar tim medis dapat segera menyusun rencana perawatan untuknya.

Sekarang Tama sedang dipersiapkan untuk memasuki ruang operasi, brangkarnya sedang didorong perlahan keluar dari ruang rawat inapnya. Seluruh keluarganya akan menunggunya selama operasi berlangsung. Ia gagal memaksa Abil untuk tetap sekolah. Bahkan Papa yang sedari tadi sudah mendapat berbagai telpon karena lagi - lagi mengambil cuti secara mendadak juga memilih untuk tetap bersamanya.

Ia harus melewati operasi ini dengan baik. Sudah banyak yang berkorban untuknya, ia tidak boleh mengecewakan mereka. Meski Dokter mengatakan tingkat keberhasilan operasi ini cukup tinggi, tetap saja ia khawatir. Ditambah lagi hasil biopsi yang menantinya. Ia akan mengetahuinya saat ia sadar. Sedangkan keluarganya akan mendengar secara langsung. Seandainya hasilnya buruk, ia khawatir tidak ada yang dapat menenangkan mereka. Semoga orang - orang yang ia sayangi dapat kuat.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang