11. Papa

896 146 14
                                    

Abil sedang dalam posisi telungkup di lantai kamar rawat Tama. Di hadapannya sudah ada selembar karton berwarna putih yang sudah beberapa kali ia gambar lalu ia hapus. Bahkan di beberapa bagian sudah tampak kertas itu telah menipis dan akan terkoyak jika diperlakukan lebih kasar.

"Gambar apa sih Bil, sini Abang gambari."

Abil menimbang sejenak. Ia sangat tergiur dengan tawaran itu. Kemampuan seni Abangnya tidak perlu diragukan lagi. Dalam sekejap tugasnya pasti akan selesai.

"Peta Bang."

"Peta? Peta semuanya gitu? Satu dunia?"

"Peta Indonesia doang, jangan nambah kerjaan Bang."

Tawa Tama pecah mendengarnya. Ia lalu menggerakkan tangannya untuk meminta Abil membawa peralatannya. Abil yang sudah menyerah memberikan karton dan alat tulisnya. Ia juga menarik meja sebagai alas gambar.

"Penuh satu karton ini?" tanya Tama sambil merapikan karton itu.

Abil memgangguk cepat, "Dari ujung ke ujung, gaboleh sisa banyak pinggirnya Bang."

Setelah paham maksud adiknya, Tama langsung mengambil pensil dan mulai menggambar. Beberapa kali ia memijat pergelangan tangannya yang terasa kaku. Abil yang juga melihat itu memintanya untuk berhenti, tapi tentu saja tidak ia gubris.

"Selesai kan, kalau susah minta tolong makanya. Kalau cepat selesainya, lo bisa istirahat."

Gambar peta Indonesia sudah tergores dengan rapi. Sangat jauh berbeda dengan yang dibuat Abil. Bahkan Tama tidak membutuhkan contoh gambar sebagai panduan.

"Setelah itu mau diapai lagi? Ditulis kotanya? Atau diwarnai?" Tanya Tama, bersiap untuk membantu kembali jika peta itu harus diwarnai.

"Ditempeli manik - manik Bang."

"Serius ini gue nanyanya."

"Serius Bang." Abil mengangkat plastik kresek yang berisi beberapa bungkus manik - manik beraneka warna. Ia membelinya di perjalanan pulang tadi.

"Tugas prakarya?" Mama yang sedari tadi hanya diam dengan tabletnya mulai tertarik dengan tugas sekolah putra bungsunya yang terdengar cukup aneh.

"Tetot." Kedua tangan Abil menyilang di depan dadanya.

"Geografi?"

"Salah Bang, ayo Mama sama Abang tebak lagi."

Mama menggidikkan bahunya tanda ia tidak tahu. Tama juga sudah menyerah.

"Tugas Matematika." jawabnya sambil tersenyum geli.

"Esensi berhitungnya di mana Bil? Ngitung manik - manik?" Ia tidak habis pikir dengan tugas adiknya ini.

"Sebenarnya bukan tugas, tapi hukuman. Tadi aku ketiduran di kelas." jawab Abil dengan muka memerah karena malu.

Mama tersenyum tipis mendengarnya. Ia jelas tahu mengapa putra bungsungnya itu mengantuk. Belakangan ini dia selalu pulang malam dari rumah sakit dan besok paginya ia akan berangkat ke sekolah. Sepulang dari sekolah ia akan langsung ke rumah sakit kembali untuk menemui Tama. Abil pasti kelelahan.

Ia juga menyadari putra sulungnya yang menatap peta yang baru saja ia gambar. Pasti ia merasa bersalah sekarang. Perlahan ia bangkit dan mendekat ke Tama, ia tepuk lembut bahu putranya. Menyampaikan pesan bahwa ini bukan salahnya.

"Kita kerjai sama - sama aja yuk biar cepat selesai."

"Iya Bil, mumpung badan Abang masih seger."

Pada pagi hari ini, ia baru saja mendapat injeksi pertamanya. Berdasarkan pengalaman, efek sampingnya akan mulai terasa nanti saat malam atau besok pagi. Jadi lebih baik dia melakukan hal yang produktif sekarang, sebelum badannya terasa remuk.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang