16. Uang

831 126 11
                                    

Makasih buat semua yang udah baca, vote, dan comment sejauh ini. \(^v^)/

===

Belakangan ini biasanya Tama masih berada di tempat tidur hingga siang hari, tapi hari ini meski matahari belum terlalu tinggi ia sudah berjalan menuju dapur. Ia berpegangan pada handrail yang udipasang di sepanjang dinding rumah, berjalan tertatih-tatih menuju kulkas.

Ia hanya dapat menghela napas saat melihat isi kulkas. Hanya ada dua butir telur, satu batang daun bawang yang tampak layu, dan setengah potong tomat yang sepertinya sisa dipakai untuk memasak sebelumnya.

Hari ini Papa bangun kesiangan dan tidak sempat menyiapkan sarapan. Ia hanya sempat meninggalkan pesan meminta Arya dan Tama untuk membeli makan siang mereka. Tapi setelah Tama melihat isi kulkas dan menyadari tanggal hari ini, bangun kesiangan bukanlah alasan untama Papa tidak menyiapkan makan siang untuk mereka. Melainkan memang mereka sudah tidak punya bahan makanan lagi.

Sejak ia dirawat terakhir kali kondisi finansial mereka semakin terasa sulit. Papa mulai mencicil biaya perawatannya waktu itu ke Mama, padahal Mama tidak memintanya sama sekali. Tapi Papa tetap membayarnya tanpa sepengatahuan Mama, harga dirinya sangat tinggi. Tama yang biasanya dapat membantu sedikit juga mulai kewalahan. Kondisinya yang tidak baik membuat kinerjanya menurun. Banyak project yang ia batalkan karena tubuhnya tidak bisa diajak bekerja dengan deadline yang ketat.

Tama melirik sejenak pada selembar uang berwarna biru yang ditinggalkan Papa di meja makan. Setelah menimbang cukup lama, ia memutuskan untuk mengolah bahan yang tersedia saja. Ia mengeluarkan telur dan bahan yang tersisa tadi, lalu ia meletakkannya di atas meja. Setelah mengambil beberapa alat masak yang dibutuhkan Tama duduk di kursi meja makan dan memulai pekerjakannya.

Sebelum itu ia berniat menaikkan penutup kepala jaket yang ia pakai, khawatir ada rambutnya yang rontok masuk ke makanan. Tapi saat tangannya tidak sengaja menyentuh kepalanya ia terkekeh kecil. Dia lupa bahwa sudah tidak ada sehelai rambutpun yang tersisa. Ia sudah botak sepenuhnya sekarang.

Saat Tama sibuk mengiris sayuran untuk telur dadar. Arya datang berlari menghampiri. "Kapan keluar kamarnya Bang? Kok tadi tiba tiba gak ada? Terus ini Abang ngapai? Kan Papa udah bilang kita beli makanan aja hari ini." tanya Arya beruntun. Ia terlalu fokus belajar hingga tidak menydari Tama telah keluar kamar. Ia cukup kaget saat abangnya tidak tampak keberadaannya di kamar dan kamar mandi mereka.

"Masak aja Ar, hemat." jawab Tama tanpa menoleh. Jika ini Abil ia tidak perlu bingung menjawab pertanyaan itu, tapi ini Arya. Adiknya yang belum terbiasa sepenuhnya dengan kondisi ekonomi mereka.

Arya menghela napas, lalu mendekat untuk membantu. "Biar gue aja yang masak. Lo baru aja injeksi tadi pagi, badan lo pasti gak enak."

Tama menaruh pisau yang ia pegang dan menoleh ke arah Arya sambil tertawa "Emang lo bisa masak?"

Arya menggeleng. Ia tidak pernah menyentuh dapur sama sekali. Kemampuan memasaknya hanya sebatas memasak air dan mie instan.

"Gue aja, aman. Nanti tolong bantu kocok telurnya aja. Kalau gak, lo lanjut belajar aja di kamar."

Akhirnya, dengan bantuan Arya, mereka berdua menyelesaikan masakan sederhana itu. Telur dadar sayur. Tama hanya duduk di bangku saat Arya mengambilkan nasi dan minum untuk makan mereka siang itu.

Saat semuanya sudah terhidang rapi, terdengar suara pintu terbuka. Abil yang baru saja pulang sekolah langsung menuju dapur dan mengucapkan salam. Ia mencium wangi harum yang sangat menggugah selera.

"Pada makan apa? Gue laper banget."

"Bukannya lo udah makan di sekolah?" Seingat Arya tadi Papa berpesan kepada Abil untuk makan siang di sekolah sebelum pulang ke rumah.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang