Beberapa orang tampak telah berkumpul dengan orang yang mereka rindukan. Saling bertukar pelukan, menawar rindu yang telah terpupuk. Sedangkan sebagiannya lagi terlihat sibuk memilah barang bawaan mereka. Membawa koper yang ditumpuk di atas troli. Ada juga yang hanya melenggang berbekal tas kecil di pundak.
Tama dan Abil sedang berada di Bandara Kualanamu menunggu kedatangan Arya. Pesawatnya sudah mendarat, namun Arya belum muncul juga sedari tadi. Sudah beberapa kali Tama menghubungi ponselnya dan hanya dijawab oleh suara operator.
"Abang duduk aja di sana, biar aku yang nunggu anak itu." ujar Abil sambil menunjuk sebuah bangku yang tersedia untuk menunggu.
Abil cemas melihat Tama yang dari tadi beberapa kali membungkuk mengurut lututnya. Tama memang tidak kuat berdiri dalam waktu yang lama. Apalagi badannya sedikit hangat akibat demamnya yang kembali tadi pagi.
Tapi dasar Abangnya ini keras kepala. Saat disuruh duduk manis saja di rumah ia tidak mau. Takut Abil diculik dan kesasar katanya. Meski sudah sebesar ini Tama tetap memperlakukkannya seperti anak TK.
"Gak usah, bentar lagi pasti muncul dia." Tama berjalan mendekat ke arah pintu kedatangan dalam negeri. Ia tidak bisa masuk, tapi setidaknya dia dapat mengintip ke dalam. Memastikan bahwa adiknya memang telah mendarat.
"ASTAGHFIRULLAH"
Tama menyentil kening Abil hingga memerah. Sudah tahu Abangnya ini jantungan, tetap saja hobi teriak - teriak. Tepat di telinganya pula.
"Bang.. itu dia bang..." Abil tergagap sambil menunjuk ke arah depan. Ia tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Tama mengarahkan pandangannya ke arah yang Abil tunjuk. Terlihat seorang lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya. Meski wajahnya tertutup masker berwarna hitam, Tama dapat dengan baik mengenali wajah adiknya. Dan ia paham kenapa Abil sampai berteriak kaget, karena ia sendiri tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Bang! Bil!" seru Arya memanggil kedua saudaranya. Tapi ia tidak mendapat jawaban. Melainkan mendapat tatapan heran dari keduanya.
"Stress banget lo sampe ganti kepala kayak gini? Ini beneran Arya Dwitama? Adek gue?" Tama sudah menangkupkan kedua tangannya di wajah adiknya. Berkali - kali memastikan bahwa ia tidak salah lihat bahwa adiknya mengecat rambutnya menjadi putih. Papanya bisa jantungan juga jika melihat ini nanti.
"Penuaan dini lo?" Sekarang Abil yang mengacak - ngacak rambutnya.
"Untung lo putih, jatuhnya kayak artis korea. Kalau Bang Tama malah kayak kakek - kakek." Lanjut Abil yang lagi - lagi mendapat hadiah jitakan dari Tama.
"Sibuk banget lo semua. Pengen ganti suasana aja ini. Ayo pulang."
Abil mendekatkan troli yang sudah ia siapkan sedari tadi. Karena ia yakin bawaan Arya cukup banyak. Ada 2 koper, 1 ransel, dan 2 kardus. Ntah apa saja yang dibawanya. Dia benar - benar terlihat seperti hendak minggat dari rumah.
Perlahan Abil dan Arya menyusun barang di troli itu. Saat akan mengambil kardus terakhir, tiba - tiba sudah ada yang meletakkanya di tumpukan paling atas.
"Lo gak boleh angkat yang berat - berat Bang." Peringat Arya melihat Tama mengangkat kardus yang berisi buku - bukunya. Terpisah oleh selama bertahun - tahun tidak membuat ia lupa apa saja pantangan Tama.
"Biar cepet."
Tama menepuk pundak Arya mengisyaratkannya untuk mendorong troli itu dan berjalan keluar. Sepanjang perjalanan ia merangkul pundak adiknya yang lebih muda dua tahun itu. Selain untuk menopang tubuhnya yang mulai lemas, ia juga sangat merindukannyaa.
Selain warna rambutnya yang berubah. Arya terlihat lebih dewasa. Otot tubuhnya tampak terbentuk, hasil dari gym yang selalu ia ceritakan selama ini. Gaya berpakaiannya juga terlihat lebih rapi dan modis. Ia yakin jika adiknya tidak terlalu sibuk membenamkan kepalanya dalam buku pasti sekarang dia sudah menggandeng seorang gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?