Bisa dibilang dunia Arya hancur di detik Tama memberitahu kabar kecelakaan yang merengut nyawa Papa mereka dari telpon yang ia terima.
Semuanya berjalan begitu saja. Tubuhnya seperti bergerak di bawah alam sadarnya. Arya hanya sibuk menyetir dan mendorong kursi roda Tama kesana kemari sesuai arahan. Sisanya Tama yang mengurus.
Dokumen -dokumen yang dibutuhkan. Mengurus kepulangan jenazah. Mengabarkan Mama dan Abil. Memberitahukan kepada warga sekitar. Bahkan abangnya ikut mengarahkan dirinya dan Abil untuk memandikan serta menyolatkan. Hanya mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhir papanya lah yang tidak dapat ia lakukan. Arya dan Abil yang menurunkan tubuh itu ke liyang lahat. Sedangkan Tama hanya dapat melihat dari dalam mobil karena kondisinya yang sudah sangat lemas.
Arya terlalu larut dalam kesedihannya. Ia sampai tidak dapat mendengar rintihan yang lolos dari bibir abangnya. Ia bahkan tidak melihat tangan Tama yang bergetar hebat saat harus mengisi formulir. Sampai-sampai seorang petugas yang iba dengan mereka membantunya, Tama hanya diminta mengucapkan saja apa saja yang perlu diisi.
Petugas itu pada akhirnya memarahi Arya karena membiarkan Tama dengan kondisinya yang sakit mengurus semuanya. Tapi Arya hanya diam saja, ia seakan tuli dan buta dengan segala ceramah yang diberikan kepadanya. Tama bahkan ikut menangkan petugas itu bahwa tidak apa dia mengurusnya sendiri karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai anak tertua.
Abil juga tidak jauh berbeda dengan Arya. Ia langsung dijemput di sekolah oleh Mama saat Mama tiba di Medan dengan penerbangan tercepat yang bisa ia peroleh. Awalnya Abil bingung dengan kehadiran Mama di sekolahnya. Tapi saat Mama menyampaikan berita itu dengan setenang mungkin ia langsung menangis hebat. Tangisnya terdengar pilu di sepanjang lorong sekolah.
Saat ia melihat tubuh papanya terbaring kaku di rumah, Abil kembali menangis. Rasanya ia tidak percaya. Baru saja tadi pagi ia diantar ke sekolah. Ternyata itu menjadi yang terakhir kalinya.
Sejak kembali dari pemakaman Abil belum ada keluar dari kamar. Ia mengunci diri. Membentak siapapun yang memaksanya keluar. Bahkan Abil secara tanpa sadar menghempas tangan Tama yang membujuknya untuk makan dengan kasar. Tentu abangnya yang sangat penyabar itu hanya memaklumi dan melarang Mama yang ingin menegur Abil.
Hanya Tama yang masih berfungsi dengan baik di antara mereka bertiga saat ini.
Mungkin?
###
Lamunan Arya terpecah saat Om Ranu datang tergopoh gopoh membawa kain dan baskom berisi air hangat. Mama mulai membasahi kain itu dan mengompres Tama.
Arya merasa dunia berputar begitu cepat. Kejadian demi kejadian menghantamnya seperti ombak besar yang tak kunjung berhenti. Ia menatap Tama yang terkulai lemah dalam pangkuan Mama di ruang tengah, tubuhnya bergetar kedinginan. Tadi abangnya sempat kejang tepat setelah seluruh pelayat pulang.
"Ar... ya.." ucap Tama lirih.
Mama meminta Arya mendekat dan menggengam tangan Tama. Dapat Arya rasakan tubuh abangnya panas sekali. Wajahnya sudah sangat pucat dengan bibir yang sudah hampir memutih.
"Udah....makan?" tanya Tama dengan senyum tipis dari balik masker oksigen pada adiknya.
Arya menjawab hanya dengan menggeleng.
"Abil?"
Arya lagi-lagi hanya menjawab dengan gerakan kepala yang sama.
Tama melepaskan genggamann tangannya dan mulai meraba kening dan leher Arya "Kalian makan ya... nanti kalian sakit... badan lo aja udah anget..."
Sarah tidak tahu apa yang telah dia perbuat hingga diberikan anak sebaik Tama. Ia sibuk memikirkan adiknya sepanjang hari. Padahal ia juga belum makan sesuap pun dan melewatkan jadwal obatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?