"Kok lo yang jemput. Mama mana?" tanya Abil begitu memasuki mobil yang dikemudikan Arya.
"Mama lagi jaga Abang."
Arya melirik ke samping, wajah adiknya sudah tertekuk. "Asem banget muka lo. Lo pengen makan siang di mana ni?"
"Males gue kalau makan sama Lo, pengennya kan sama Mama."
Sejak Mama sampai di Medan, Abil sudah meminta Mama yang akan menjemput lalu mereka akan melanjutkannya dengan makan siang bersama. Mama sendiri sudah menyetujui janji itu, meski dia juga paham Abangnya butuh keberadaan Mama saat ini.
Tadi ia sudah mendapat pesan permintaan maaf dari Mama karena tidak dapat menjemputnya siang ini. Mama tidak mengatakan alasannya. Tanpa diberitahupun Abil sudah tahu.
"Gimana jadinya? Atau mau take away?"
"Langsung ke rumah sakit aja." jawab Abil tanpa menoleh ke arah Arya sama sekali.
"Di rumah sakit gak ada makanan Bil, tadi Mama udah pesan untuk sekalian beli makan siang untuk semuanya."
"Kalau gitu ngapai kasih pilihan?" jawab Abil masih dengan nada ketus. Ia paling tidak suka jika ada yang ingkar janji dengannya. Mamanya juga bukan pengecualian.
Arya menghela napas kasar. Adiknya sekarang seperti remaja perempuan yang sedang PMS. Lagipula adiknya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Jika Abil tahu, ia juga pasti akan menyesal. Jadi Arya akan membiarkan saja Abil meluapkan emosinya dahulu. Paling nanti Abil akan malu sendiri saat berhadapan dengan Abang mereka.
"Lo marah sama Mama?"
"Iya." ucapnya jujur.
"Karena Mama temani Abang? Lo marah sama Abang juga berarti?" tanya Arya memastikan. Kepalanya tetap menghadap ke depan, fokus dengan jalanan.
"Gue tau Abang lagi sakit. Tapi gue kan cuma minta di jemput sama makan siang bareng, paling lama juga cuma 2 jam selama ini. Abang kan juga bisa lo yang temani bentar."
"Ta-"
"Lo diam aja, lo yang selalu sama Mama mana ngerti." Abil memilih untuk melihat ke jendela. Menikmati kemacetan jalanan pada siang itu.
Arya yang normal akan meledak dan marah - marah. Dia sedikit tersinggung dengan kalimat Abil. Tapi ia juga paham perasaan adiknya. Ia akan menyimpan amarahnya nanti.
"Ok kalau itu mau lo, kita langsung ke rumah sakit."
===
"Ma-" teriakan Abil terhenti saat Mama memberikan kode dengan jari telunjuk di depan mulut.
"Jangan berisik, kasian abangnya baru bisa istirahat."
"Gapapa Ma, aku gak tidur...." Suara parau Tama terdengar.
Abil menyadari abangnya terlihat sangat pucat dengan bibir yang kering dan memutih. Seluruh tubuhnya tertutup selimut hingga leher, hanya wajahnya yang dihiasi nassal cannula yang tampak. Ia terlihat lemas sekali, bebebeda dengan saat kemarin mereka bersama mengerjakan hukumannya. Bahkan saat Abil pulang semalam Tama tidak sepucat dan tampak semenyedihkan ini. Apakah seburuk itu efek samping obat yang diinjeksikan ke tubuh Abangnya?
"Abang kenapa? Kok lemas lagi?"
"Abang kejang tadi. Muntah terus dari semalam, demam, terus gamau makan jadinya dehidrasi sampe kejang. Marahi dulu Abangnya biar mau makan."
Tama yang mendegar dirinya sebagai objek omelan Mama hanya tersenyum tipis. Ia yakin Mamanya sangat takut saat tiba - tiba dia kejang tadi. Itulah sebabnya Mamanya lebih memilih bersama dirinya daripada menjemput Abil. Meski Tama telah membujuk Mama, tetap saja tidak berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?