27. Memilih

842 129 14
                                    

"Aaaa"

Sarah memnyuapkan sesendok bubur ke putra sulungnya. Setiap suapan ia lakukan  dengan mata berbinar - binar dan senyum yang terus mengembang. Akhirnya Tama sudah dapat makan bubur yang cukup halus. Ia semakin bahagia saat putranya makan dengan cukup lahap meski masih sulit menelan, mungkin ia bosan hanya dapat minum susu selama tiga bulan terakhir.

"Mmi-numm"

Mangkuk bubur yang ia pegang diletakkan terlebih dahulu dan digantinya dengan segelas air untuk disuapkan ke Tama. Setelah beberapa suap, ia mengakhiri acara makan siang putranya dengan membersihkan makanan yang bertumpahan.

"Mma ka-ppan boo-lle ppu-laa?"

"Tunggu Abang udah beneran sehat dulu. Kita tunggu hasil pemeriksaannya keluar. Udah bosen ya?"

Tama mengangguk sebagai jawaban.

Meski ruang rawatnya jauh lebih mewah daripada kontrakan Papa, rasanya akan lebih nyaman di rumah sendiri. Ia sudah muak dengan ruangan yang seperti penjara baginya ini.

Lagi pula satu siklus kemonya sudah selesai. Meski masih jauh dari kata sehat dan masih mengalami kelumpuhan, kondisinya sudah jauh lebih baik daripada saat ia pertama kali datang. Seharusnya sudah tidak ada alasan untuknya tetap berada di rumah sakit.

"Tadi Mama udah minta izin sama dokter. Karena kamu udah kuat duduk agak lama, gimana kalau malam ini kita makan di luar?"

"B-bolleh?"

"Bolehh. Mama udah minta izin kita keluar bentar. Tapi Abang tetep gak boleh kecapekan. Kita makannya juga di resto hotel aja, jadi kalau capek atau butuh sesuatu bisa langsung ke kamar. Gimana? Mau sayang?" Ia berharap malam ini akan menjadi momen yang menyenangkan bagi putranya, sedikit pelipur lara setelah berbulan-bulan menjalani perawatan yang melelahkan.

"M-mmauu mma-kka-ih Mmaa." ucapnya dengan senyum terbaik yang dapat ia berikan.

Sarah bangkit dari duduknya dan beralih ke belakang kursi roda Tama, perlahan ia dorong mendekati ranjangnya. "Sekarang kamu istirahat biar nanti malam seger."

"D-di k-ku si dda ja Mma... bbe-att" ucap Tama dengan terbata. Meski sudah semakin baik, masih ada beberapa huruf dan kata yang sulit ia ucapkan.

"Bisa kok Mama, kamu juga kurus banget gini, gak ada berat - beratnya." ucap Sarah sambil menyelipkan tangannya di belakang pundak dan lutut Tama. Dengan mudah ia memindahkab tubuh ringkih putranya ke ranjang rumah sakit.

Tama mulai kepikiran. Seandainya ia sudah dapat pulang dari rumah sakit, siapa yang nanti akan menjaganya. Kondisinya saat ini harus selalu didampingi. Ia masih harus dimandikan, disuapi, dan dibantu dalam semua aktivitas. Secara realistis butuh waktu berbulan - bulan bahkan tahun agar ia kembali dapat mandiri beraktivitas.

Papa akan bekerja dari pada hingga siang. Abil juga sekolah. Mungkin saat ini ada Arya, tapi sebentar lagi adiknya itu akan kembali ke Jakarta. Pendftaran UTBK beberapa bulan lagi. Setelah itu ia akan ujian dan berkuliah. Tidak ada yang dapat mendampinginya di rumah.

Selain itu, biaya kebutuhannya sehari - hari saat ini semakin tinggi. Obatnya semakin banyak, pampers dan oksigen yang harus ia pakai setiap hari harganya juga tidak murah. Ditambah lagi terapi dan lainnya. Saat ini semua pengobatan dan kebutuhannya ditanggung oleh Mama. Jika Papa harus membiayai ini semua pasti akan keteteran.

Intinya, ia hanya akan merepotkan jika tinggal dengan Papa saat ini.

Tapi Tama juga tidak siap jika harus tinggal dengan Mamanya. Ia khawatir Papanya akan kembali mencoba mengakhiri hidupnya sendiri. Ia tidak ingin ambil resiko.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang