20. Lowongan

725 114 9
                                    

"Eh Pak Hendra, tumben jam segini masih di rumah. Biasanya pergi pagi pulang malam."

"Hari ini mau temani anak dulu, jadwalnya check - up." jawab Hendra dengan senyum ramah pada pemilik kontrakan mereka yang kebetulan sedang lewat di depan rumah. Tama yang sedang dituntun berjalan keluar rumah juga ikut memberikan senyum di balik maskernya.

Sesuai janjinya, kali ini Hendra yang akan menemani Tama check - up. Awalnya Arya menawarkan diri untuk ikut juga. Tapi Tama melarangnya, ia tahu adiknya sedang butuh waktu sendiri untuk belajar. Arya yang juga langsung menerima penolakan yang diberikan abangnya semakin memperkuat dugaan Tama.

"Yang ini Pak? Yang paling besar kan ini?Aduhh... siapa namanya, lupa saya." sekarang wanita paruh baya itu sudah menghampiri mereka yang sedang berdiri di ambang pintu.

Sepertinya akan terjadi percakapan basa - basi yang cukup lama. Hendra mendudukkan Tama di kursi depan rumah mereka. Ia memberikan isyarat untuk sabar sejenak. Bagaimanapun mereka menyewa padanya dan sering diberi keringanan setiap masa pembayaran datang.

"Ini yang sulung Tama." Hendra menepuk pundak Tama, memperkenalkan putranya. "Satu lagi yang tinggal sama saya Abil, yang paling kecil. Kalau yang baru datang kemarin si tengah, Arya."

"Oiyaiya, baru ingat lagi saya. Kalau Abil saya ingat, sering jumpa di warung. Kalau Tama jarang keluar rumah kan ya."

Lagi lagi Tama hanya memberikan sedikit anggukan dan senyum sebagai respon. Ia memang tidak terlalu sering bersosialisasi dengan tetangga mereka.

"Cepat sehat ya, jangan sakit - sakit ginila. Kalau sehat lumayan bisa bantu Papanya kerja. Harusnya kalau udah punya anak sebesar ini tinggal goyang - goyang kaki aja di rumah. Anak paling besar, laki - laki pula," Bibir tipisnya lancar sekali mengucapkan kalimat itu. Matanya melirik Tama dari kepala hingga ujung kaki. Membuat Hendra semakin ingin menyelesaikan perbincangan ini.

Ternyata wanita itu menyadari pandangan Hendra yang memintanya untuk berhenti, tapi ia masih tidak merasa bersalah, "Harus tau loh Pak anaknya. Sakit tu yang penting harus semangat, gak boleh dirasa - rasa. Sakit sendi aja kan? Kurang gerak aja itu, gausah percaya kata dokter bilang yang aneh - aneh. Cari duit aja mereka."

Hendra sudah akan membuka mulut untuk berpamitan, telinga dan hatinya sudah sangat panas. Tama juga tampak tidak nyaman dan hanya menunduk tanpa berkata apapun. Lagipula jika terlalu lama mereka akan terlambat. Cukup banyak pemeriksaan yang harus dilakukan putranya hari ini.

"Kemarin saya jumpa Papa kamu di jalan. Panas  - panas, cari kerja sana sini. Makanya kamu bantu bantula sedikit. Kalau gak bisa bantu cari uang. Bantu kerjaan rumah kan bisa. Nyuci - nyuci atau nyapu keliatannya masih sanggup."

"Cari kerja Bu?" Tama mulai mengeluarkan suara. Meski pertanyaan itu dilontarkan kepada sang pemilik kontrakan. Tama mendongakkan wajahnya ke Papanya yang tampak gelisah seperti menutupi sesuatu.

"Iya, gak tau kan kamu? Orang tua mana mau cerita yang susah - susahnya. Makanya jangan malas - malasan."

Belum sempat Tama bertanya lebih jauh, sang pemilik kontrakan sudah dihampiri suaminya yang ternyata sedang membeli sesuatu di warung. Setelah ia berpamitan, mereka pergi meninggalkan Tama dan Hendra.

"Ayok gerak Tam, udah telat ini." Hendra hendak membantu Tama berdiri, tapi putranya mencengkram tangannya dan enggan bangkit.

"Maksudnya apa Pa?"

"Gak usah didengeri, salah orang itu." Hendra masih berusaha mengelak meski sudah tertangkap basah.

"Aku gak mau check up kalau Papa gak jujur."

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang