31. Ikhlas

969 132 51
                                    

Hendra masih terguncang hebat dengan Tama dalam pelukannya, tangisnya kian keras, memohon dan meratap. Ia tidak ingin menerima kenyataan yang kini dihadapinya. Tubuh Tama tetap kaku, dingin, dan tak bergerak. Hendra menggoyang-goyangkan tubuh putranya, berharap keajaiban datang.

"Papa mohon Tam... bangun nak..."

Namun tidak ada respon. Semua harapannya seperti lenyap dalam sekejap. Tiba-tiba Hendra merasakan ada tangan yang menyentuh bahunya. Dia terkejut dan langsung menoleh. Di sana berdiri Arya dan Abil dengan wajah penuh kecemasan dan air mata yang sudah mengalir deras.

"Kenapa ini Pa?" tanya Abil dengan suara yang bergetar.

"Abang... abang Tama..." Hendra tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dia kembali terisak, memeluk tubuh Tama lebih erat. Menciumi pipi yang dingin dan cekung itu.

"Kita bawa ke rumah sakit sekarang ya Pa," ucap Arya, Hendra dapat merasakan keraguan dalam kalimat itu.

Hendra mengangguk pelan. Dia berusaha bangkit sambil membawa tubuh Tama. Dengan langkah tertatih mereka keluar dari rumah dan menuju mobil.

Perjalanan menuju rumah sakit terasa lebih lama dari biasanya. Hendra terus memeluk Tama di pangkuannya, berharap putranya akan bangun dan tersenyum padanya seperti biasa. Di kursi depan, Arya dan Abil saling berpegangan tangan, berusaha menguatkan diri dan satu sama lain.

Ya Allah, apa saja akan kulakukan. Bagaimanapun kondisinya nanti akan kuterima. Tapi jangan ambil dia dulu... aku tau surga akan menanti anak sebaik Tama, tapi aku belum siap. Aku belum membahagiakannya...

Sesampainya di rumah sakit para dokter dan perawat segera menyambut mereka. Hendra tidak ingin melepaskan tubuh Tama, tapi dia tahu dia harus. Dengan hati yang berat dia menyerahkan putranya kepada tim medis.

"Silakan menunggu di sini Pak," kata salah satu perawat dengan lembut, mencoba menenangkan Hendra yang tampak sangat terguncang.

Waktu seolah berhenti bagi Hendra. Dia duduk di ruang tunggu dengan kepala tertunduk, tangannya terus bergetar. Arya dan Abil duduk di sebelahnya, berusaha menenangkan Papa mereka meskipun wajah mereka sendiri tampak takut dan cemas.

Setelah apa yang terasa seperti selamanya, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat. Wajahnya serius dan penuh dengan simpati. Hendra langsung berdiri, hampir terjatuh karena kakinya yang lemas.

"Bagaimana anak saya Dok?" tanyanya dengan suara parau.

Dokter itu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Maafkan kami Pak Hendra. Kami sudah melakukan segala yang kami bisa, tapi... putra anda sudah meninggal saat tiba di sini."

Kata-kata itu seperti pukulan telak di dada Hendra. Dia merasa seluruh dunianya runtuh. Air mata kembali mengalir deras, tidak dapat ditahan. Arya dan Abil pun menangis keras, memeluk Papa mereka dalam kesedihan yang mendalam.

Dokter terus menjelaskan mengenai kemungkinan komplikasi dan infeksi yang merengut nyawa putranya. Tapi itu semua tidak dapat ia dengar. Ia tidak butuh itu. Ia hanya ingin putranya kembali.

Namun, tiba-tiba segalanya menjadi gelap. Suara dokter yang berbicara perlahan memudar. Hendra merasakan tubuhnya terjatuh ke dalam kegelapan.

===

Hendra terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin mengucur di dahinya. Dia memandang sekeliling, mendapati dirinya berada di kamarnya. Jantungnya masih berdegup kencang, tetapi ia merasa lega menyadari bahwa semua itu hanya mimpi buruk.

Dia melirik jam dinding yang tergantung. Pukul lima. Sama seperti dalam mimpinya. Dengan gemetar, Hendra bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar, rasa takut masih menggantung di hatinya. Dia harus memastikan dengan matanya sendiri bahwa Tama baik - baik saja.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang