18. Maaf

925 126 16
                                    

Suara pintu yang berbunyi saat dibuka membuat Tama juga membuka mata. Ia berbaring di tempat tidurnya, ditemani Abil yang sedang memijat lengannya. Adik pertamanya muncul dengan beberapa kantong plastik di kedua tanganya.

"Bang, Arya udah pulang tuh," kata Abil, tanpa menghentikakan kegiatannya.

"Udah segeran Bang?"

"Alhamdulillah udah." suara Tama masih terdengar serak. Tapi napasnya sudah terdengar jauh lebik.

Arya mengeluarkn isi plastik dan mulai menyusun beberapa barang. Abil mendekat untuk membantu, tapi Arya mengusirnya dan memintanya untuk tetap memijat Tama.

Setelah ia selesai dengan kegiatan berberesnya, ia menuju ke kamar mandi. Saat ia keluar ia sudah tampak segar dengan baju yang berbeda.

Ia sengaja langsunga mandi dan membersihkan diri saat sampai rumah. Dokter yang menangani Tama tadi mengatakan kondisinya sedang sangat rentan tertular virus maupun terkena infeksi. Mereka harus lebih menjaga kondisi kebersihan lingkungan dan orang - orang yang berinteraksi dengan Tama.

Arya langsung naik ke tempat tidur Tama dan berbaring di sampingnya. Ia lelah sekali rasanya. Padahal hanya berbelanja sebentar, membeli makan siang, lalu singgah di apotek untuk menebus obat abangnya.

"Capek ya?" tanya Tama yang telah menolehkan kepalanya ke Arya.

Arya mengangguk, "Numpang rebahan ya Bang."

"Lo udah punya kasur sendiri, pindah sana."

"Berisik lo." Arya menyahuti Abil tanpa meliriknya. Ia sudah dapat membayangkan wajah kesal adiknya hanya dengan mendengar nada bicaranya

"Gausah berantem, sini naik juga di samping Arya. Muat kok." Tama menarik pelan lengan adiknya yang sudah tampak sedikit merajuk.

"Males banget dekat - dekat dia." goda Arya yang mendapat cubitan pelan dari Tama. Adik bungsung mereka ini memang hobi merajuk dan Arya selalu menjadi pelaku utamanya.

"Yaudah, gue geser ke tengah. Tapi tolong bantui, badannya belum bisa diajak kerjasama."

Kedua adiknya langsung memandangnya dengan rasa bersalah. Niat mereka hanya menggangu satu sama lain. Tidak ingin mengusik istirahat Abang mereka.

"Beneran gapapa, biar tidur bertiga kayak jaman bocil dulu."

Arya langsung bangkit dari posisi berbaringnya dan mengambil ancang - ancang untuk mengangkat tubuh Tama.

"Kalau sakit bilang ya Bang." peringat Arya sebelum perlahan menyelipkan tangannya di punggung dan bawah lutut Tama.

Arya mengangkat tubuh ringkih itu, sedangkan Abil menggeser posisi perlak dan selimut. Setelah dirasa sudah sesuai, Arya kembali membaringkan Tama dengan perlahan.

"Udah nyaman Bang? Napasnya enak?" Tanya Abil yang sedang membenarkan letak bantal.

Tama tidak menjawab. Ia hanya menepuk ringan ruang kosong di tempat tidurnya. Mengisyaratkan Abil untuk segera naik dan langsung dituruti oleg adiknya. Arya juga sudah kembali ke posisi semula.

"Dulu ada yang gak mau tidur siang kalau tidurnya gak rame - rame. Arya sampe harus pura - pura merem dulu baru bisa pergi les kalau anak ini udah tidur." Ucap Tama dengan kekehan ringan saat mengingat masa kecil mereka. Ia juga merasa napasnya lebih lega dan dapat berbicara cukup panjang.

Wajah putih Abil sudah memerah seperti kepiting saat Arya terbahak - bahak. Dari begitu banyak memori kenapa harus itu yang diungkit.

"Gak asik, Abang sekarang ikutan Arya."

"Sorry sorry." ucap Tama sambil menggengam tangan adik bungsunya. Sebelah tangannya lagi juga mencari tangan Arya dan ia genggam lembut.

Sekarang Tama menutup matanya perlahan, ntah mengapa sedari tadi ia merasa sangat mengantuk. Apakah itu karena pengaruh obat atau pernapasannya yang sudah longgar membuatnya lebih mudah untuk tidur.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang