29. Rumah

707 106 7
                                    

Wangi yang sangat harum dari sup ikan buatan Hendra menguar ke seluruh kontrakan kecil itu. Beberapa masakan lainnya sudah selesai, tinggal menumggu sup itu mendidih lalu mereka akan makan bersama. Aneka aroma yang masuk ke indra penciumannya membuat Tama semakin tidak sabar untuk menyantap makanan favoritnya itu.

Setelah kejadian yang mengungkap seluruh rahasia itu akhirnya Tama dapat pulang ke rumah keesokan harinya sesuai pemintaannya semalam. Untungnya dokter memberikan izin karena kondisinya memang sudah membaik. Tapi tetap saja perjuangannya masih panjang dan memerlukan perawatan intensif.

Jadi hari ini mereka bersama - sama berada di rumah Hendra dan akan makan malam bersama sebelum Sarah, kakek, dan om Ranu kembali ke Jakarta. Abil dan Arya akan ikut mengantar mereka ke bandara nantinya.

"M-mau d-dduu Mmaa"

"Sebentar aku ambilkan bantal lagi." Abil langsung beranjak ke kamar dan mengambil bantal untuk menyangga tubuh abangnya.

Sejak Tama pulang dari rumah sakit, suasana rumah kontrakan kecil itu berubah drastis. Di tengah ruang tamu, sebuah kasur tipis beralaskan tikar diletakkan khusus untuk Tama. Tubuhnya hanya bisa berbaring, dengan kepala yang ditopang bantal-bantal agar tidak terkulai. Hendra sudah menyingkirkan semua perabotan selain sofa di runag tengah agar Tama dapat bersandar. Jadi nantinya Tama akan menghabiskan waktu di sana agar selalu dapat mereka awasi, kecuali saat akan tidur atau memang ia ingin ke kamar.

Sebuah kipas angin dihidupkan di pojok ruangan. Memberikan udara sejuk pada kontrakan sempit itu. Suara kipas angin tua itu beradu dengan suara hembuskan oksigen dari nassal cannula Tama.

Kakek yang duduk diujung kaki Tama sibuk memijat sambil mengedarkan matanya ke seluruh bagian rumah. Mulutnya sudah tidak tahan memberikan komentar melihat dinding yang catnya sudah mengelupas dan atap yang bocor. Bahkan rasanya ingin membelikan rumah baru saja agar cucunya lebih nyaman.

Tapi saat matanya bertemu dengan mata Tama ia dapat melihat cucunya itu seakan memintanya untuk diam saja. Bibir pucat itu juga tersenyum tipis padanya sebagai ucapan terimakasih karena telah memahami keadaan yang ada. Kakekpun mengangguk sebagai jawaban.

"Udah pas posisinya sayang?"

Tama mengangguk, "M-maa a-ssih Ma"

"Kita semua pengen Abang cepat sehat, bisa jalan, makan sendiri. Tapi kalau ngerasa capek dan ada yang sakit jangan dipaksa terapinya ya sayang?" peringat Sarah pada putranya yang hobi sekali melewati batas diri.

Tama hanya melemparkan senyum. Ia tidak yakin dapat berjanji untuk hal yang satu itu. Jadi lebih baik ia tidak menjawab daripada harus berbohong.

"Ayo kita makan!" seru Hendra membawa semangkung besar sup yang masih mengepul panas. Arya dan Abil mengangkat piring - piring dan mulai mengangsurkannya kepada semua orang. Mereka mulai makan bersama.

Tentunya Sarah memilih untuk menyuapi putranya dahulu. Mulai besok ia tidak akan bisa menyuapinya seperti ini lagi setiap hari. Belum berpisah saja ia sudah merasa rindu.

Sendok demi sendok dengan tempo lambat ia suapkan. Tidak lupa ka menyampirkan handuk kecil di pundak putranya terlebih dahulu tadi. Napas Tama terlihat terengah hanya karena kegiatan sederhana ini. Sepertinya ia belum sepenuhnya pulih dari sesak yang menghampirinya semalam.

"Kayaknya Abang masih kecapekan, udaha dulu makannya ya? Kalau masih lapar nanti makan lagi dari selang." ucap Sarah sambil membersihkan bubur yang bertumpahan.

Tama hanya mengangguk. Ia memang merasa lelah dan mengantuk. Tapi ia menahannya sedari tadi. Ia tidak ingin membuang sedikitpun waktunya bersama Mama dan yang lainnya. Ini pertama kali setelah sekian lama mereka berkumpul bersama di rumah, bukan rumah sakit.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang