3. Adaptasi

1.6K 152 6
                                    

Arya terbangun tanpa mendengar suara alarmnya. Tangannya meraba mencari ponsel yang ia mainkan sebelum tidur tadi. Setelah menemukannya, matanya menyipit melihat layar ponselnya yang cukup terang. Ternyata masih pukul tiga. Pantas saja alarmnya tidak terdengar karena ia menghidupkannya untuk pukul lima.

Sepertinya biological clock tubuhnya masih belum beradaptasi dengan rutinitas barunya. Dulu selama setahun penuh ia akan tidur jam 11 dan bangun jam 3 pagi untuk belajar. Terkadang ia tidak tidur sama sekali. Kalau sudah bangun begini ia akan sulit tidur kembali.

Ia segera mematikan ponselnya agar tidur Tama tidak terganggu. Plester demam yang Tama kenakan sudah terlepas dan terjatuh di samping kepalanya. Arya meletakkan punggung tangannya dan berjengit saat merasakan hawa panas dari sana. Sepertinya suhu badan Abangnya belum ada perubahan.

Perlahan ia bangkit dan bergerak turun dari ranjang. Lalu ia membongkar laci nakas yang berada di samping tempat tidur. Tadi dia melihat Tama menyimpan plester demamnya di situ. Setelah mencari cukup lama diantara obat - obatan dan barang lainnya, Arya menemukannya. Ia membukanya dan melekatkannya ke kening Tama. Tama tampak tidak terusik sama sekali.

Bermodalkan cahaya lampu tidur. Arya mulai mengisi dini harinya dengan membongkar beberapa barang bawaannya. Ia membuka dua kardus yang belum disentuhnya sejak dia sampai. Dua kardus itu berisi buku - buku. Satu kardus berisi buku untuk persiapan UTBK, sedangkan kardus satu lagi berisi buku baru yang masih bersampul plastik. Rencananya semua buku baru itu akan ia baca untuk mengisi waktu luang.

Masih belum selesai dengan kegiatannya, adzan subuh terdengar berkumandang. Di saat bersamaan pintu kamar terbuka, terlihat Abil melangkah masuk. Jelas sekali wajahnya seperti orang yang baru bangun tidur.

"Ketok dulu sebelum masuk, izin." tegur Arya dengan sedikit berbisik. Arya sangat tidak suka jika privasinya diganggu.

"Ini kamar Bang Tama, bukan kamar lo. Bang Tama aja gak pernah marah." Abil kembali melangkah masuk dengan santai. Membuat Arya berdecak sebal.

"Bang, bangun dulu. Udah Subuh." Abil menepuk - nepuk pelan pundak Tama sampai ia membuka mata. Tidak tega sebenarnya untuk membangunkan abangnya ini. Tapi ia tetap harus melaksanakan kewajibannya.

"Udah lama Bil?" tanya Tama dengan suara parau.

"Nggak Bang, ini masih adzan. Abang mau ikut berjamaah atau sholat di kamar aja?" tanya Abil setelah merasakan hawa panas yang masih terasa.

"Ikut jamaah aja, tadi malam udah gak ikut." Tama mengusap wajahnya beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaran. Saat ia melihat ke samping ia tidak menemukan Arya. "Arya mana?"

"Di sini Bang." sahut Arya sambil berdiri mendekati tempat tidur.

"Kok gue gak dibanguni sih Ar."

"Gue dah bangun dari jam tiga Bang. Ini si Abil baru aja masuk kamar pas Subuh."

Tama hanya mengangguk. Ia lalu mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Abil untuk membantunya bangun. Setiap pagi persendiannya akan terasa kaku dan sakit. Ia membutuhkan sedikit bantuan untuk berpindah posisi.

"Yakin mau berjamaah Bang?" tanya Abil meyakinkan sekali lagi.

"Iya, kuat kok. Bantu ke kamar mandi aja."

Abil mengangguk dan membantu Tama berdiri. Ia menuntun Tama bejalan perlahan, memastikan tubuhnya tidak oleng. Setelah memasuki kamar mandi Abil tetap menunggu di luar pintu. Saat mendengar namanya dipanggil dari dalam, dengan sigap ia membuka pintu kamar mandi dan kembali membantu Tama berjalan menuju tempat tidur.

Tama kembali duduk untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Abil membalurkan minyak telon di kaki dan tangan tama. Lalu ia mengambil kaus kaki dan memakaikannya di kedua kaki Tama. Tidak lupa ia juga mengambil cardigan untuk dipakai si tubuh ringkih itu. Terakhir ia mengambil sendal  rumah agar Tama tidak merasa dingin saat berjalan ke luar.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang