"Astaghfirullahh!!! Kakak, adek! Jangan berantem terus, Abangnya masih sakit ini!" sejak hari pertama Tama dipindahkan ke ruang rawat biasa hingga sekarang, Arya dan Abil terus menerus memperdebatkan hal kecil. Mama sampai pusing melihat ulah mereka. Sedangkan Papa hanya tertawa sambil memijat kaki Tama, menikmati keributan yang terjadi.
"Dia deluan Ma yang ambil kulit ayam Aku!"
"Lo sendiri yang ngabisi kentangya! Makanya jangan rakus!" seru Arya tidak mau kalah.
"Arya.. Abil... dengari Ma-huk Ma," tegur Tama dengan suara yang lirih, "Uhuk uhukk"
Batuk menghentikan niatnya untuk memberi omelan yang lebih panjang kepada kedua adiknya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri karena luka operasinya yang belum sepenuhnya mengering terguncang karna batuk.
"Sampe batuk ini Abangnya." Mama mengelus lembut bahu Tama, belum berani menyentuh daerah dekat perban itu.
Saat ini Tama mengenakan piyama rumah sakit yang tidak dikancing. Sengaja dibuka agar tidak menekan luka di dadanya. Tapi dia sering malu sendiri jika selimutmya tersingkap dan memperlihatkan perutnya yang tidak ada ototnya itu. Kedua adiknya terus mengusilinya, tapi ia masih terlalu lemas untuk menanggapi mereka berdua. Jadi ia biarkan saja sesuka mereka.
"Iya Ma, Maaf."
"Minta maaf sama Abang."
"Maaf Bang." ucap mereka serentak sambil menunduk dengan nada penyesalan.
Hangat sekali suasana ini, seperti dulu saat mereka semua masih tinggal bersama. Kalau boleh, Tama ingin terus terusan sakit saja agar mereka dapat terus berkumpul seperti ini. Tapi jika ia sakit akan membuat khawatir dan menyusahkan. Jadi ia tidak jadi berharap seperti itu. Kalau rasa sakit di tubuhnya ia sudah tidak peduli, ia sudah terbiasa.
"Minum..."
Mama dengan sigap mendekatkan sedotan ke mulutnya. Sekarang ia hanya menggunakan nassal cannula, menbuatnya lebih mudah untuk minum dan makan. "Pelan - pelan ya sayang."
"Ma..."
"Iya sayang?"
"Mama sama Papa udah makan? Om Ranu juga?" tanya Tama sambil memainkan jari Mama yang berada di tempat tidurnya.
"Udah sayanggg, jangan banyak mikir dulu." Mama mengecup kening putranya yang selalu memikirkan orang lain itu.
"Alhamdulillah kalau udah."
"Tidur lagi aja ya. Nanti kalau adeknya ribut lagi Mama resleting mulut mereka." ujar Mama sambil mengamati anak tengah dan bungsunya yang diam - diam sudah mulai bertengkar lagi saat ia tidak memperhatikan.
Tama terkekeh pelan dan perlahan memejamkan matanya. Menikmati pertengkaran adiknya sebagi musik pengantar tidur.
===
Sore ini hanya ada Arya dan Papa yang menemani Tama. Abil pulang sejenak untuk mengecek rumah dan mengambil jaket yang Tama minta. Sedangkan Mama dan Om Ranu kembali ke hotel untuk mandi dan berganti baju.
"Pengen duduk..." Tama memberitahu ke seisi ruangan. Papa dan Arya menoleh memberikannya tatapan tidak yakin.
"Pegal ya Tam baring terus?" Tanya Papa yang sudah mendekat ke ranjang.
Tama mengangguk, "Tolong bantu duduk Pa."
Papa mengambil remot ranjang dan menekan tombolnya perlahan, sendangkan Arya menjaga tubuh Abangnya dari samping.
"Astaghfirullah..." Tidak sempat sudut tempat tidur itu tegak sepenuhnya, Tama mengucap istighfar dengan merintih. Membuat Papa langsung menghentikan jarinya yang menekan tombol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?