19. Ulang Tahun

795 126 6
                                    

Sedikit lagi sepertinya Arya akan melemparkan laptop di hadapannya. Belakangan ini pola belajarnya sangat buruk. Hasil Try Out nya menurun drastis, sangat berbanding terbalik dengan hasil yang biasanya ia peroleh.

Sebenarnya sedikit kurangnya ia tahu penyebabnya. Tapi Arya menepis pikiran itu. Dirinya tidak boleh terlalu banyak beralasan dengan segala yang sedang terjadi.

"Nyemil nih sambil belajar."

Sepiring jeruk yang sudah dikupas diletakkan di samping laptopnya yang berada di meja makan. Pelakunya tentu saja Tama, karena saat ini mereka hanya sedang berdua di rumah seperti biasa. Tama juga sudah mengambil posisi di kursi samping Arya.

"Bantu ajari kenapa Bang."

"Ngejek lo? Gue tinggal kelas sekali, belum kuliah juga." omel Tama sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja makan.

"Beda cerita Bang. Itu semua kan karena kesehatan lo, bukan karena otak."

"Sama aja Ar."

Arya hanya dapat mendengus kasar mendengarnya. Ia sedang tidak dapat meberikan argumentasi pada kalimat peseimis itu. Sekarang ia sudah ikut mengambil posisi seperti yang Abangnya lakukan. Kalau Tama sedang berusaha menghilangkan rasa pusing secara fisilogis, maka Arya sedang pusing secara psikis.

Tama memiringkan kepalanya ke arah Arya, tangannya mulai mengusap - ngusap lembut rambut adiknya. "Jadikan kita nanti makan malam ke luar ngerayai ulamg tahun Abil?"

"Gue udah bilang iya. Mau ke mana sih memangnya Bang?" tanya Arya masih dengan posisi yang sama. Nada bicaranya sedikit tinggi. Membuat elusan yang ia rasakan berhenti perlahan karena terkejut.

Sejak tadi pagi Tama terus - terusan mengatakan hal itu padanya dan Arya juga selalu memberi jawaban yang sama. Tapi abangnya masih tetap bertanya. Tama juga terus mengekorinya. Membuat Arya sedikit kesal. Kepalanya sedang penuh sekali dan sedang ingin sendiri sebentar.

"Abang ngeseli ya? Maaf ya..."

Hati Arya ikut tersayat mendengar penuturan maaf itu. Apalagi saat ia mengangkat kepala, Tama menatapnya seperti cara Tama menatap Papa mereka. Seperti ada sedikit rasa takut dan kecewa yang terpancar dari mata yang sayu itu.

Arya menggeleng, "Gue lagi badmood aja, nilainya gak beres dari kemarin,"

"Kita mau makan ke mana? Abang udah ada ide?"

Tama menimbang sejenak. Dia sudah tau akan ke mana sebenarnya. Tapi tempatnya sedikit jauh. Ia harus meminta persetujuan yang menyetir dulu. Itu sebabnya ia berulang kali memastikan karena Arya tidak kunjung bertanya ke mana mereka akan pergi. Hanya saja Tama melakukannya saat timing yang salah.

"Ke seafood yang dekat laut itu gimana? yang dulu pernah kita bahas."

"Udah enakan badannya emang?" tanya Arya kembali.

Sudah hampir dua bulan Tama tidak keluar rumah selain untuk ke rumah sakit. Bahkan kemarin ia baru bertarung dengan infeksi paru - parunya yang membuatnya sampai hanya bisa terbaring di tempat tidur. Sekarangpun batuk itu masih terdengar sesekali.

"Gak liat gue udah nyuci piring sama ngupas jeruk?"

"Gak itu tolak ukur orang sehat Banggg."

"Ya maksudnya gue udah bisa jalan sana jalan sini. Kalau tolak ukurnya kayak kalian sampe satu abad lagi juga gak bisa."

Arya hanya terkekeh kecil meski hatinya merasa sedikit tersentil. "Kalau Abang emang ngerasa udah enakan badannya, gue oke aja."

"Makasih ya Ar. Biar Abang aja yang kabari Abil sama Papa." ucap Tama tulus sambil beranjak untuk mengambil ponselnya di kamar. Wajahnya tampak sangat bahagia.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang