Tama beberapa kali tampak mengusap wajahnya. Cukup lama dia hanya menatap laptopnya. Berharap inspirasi tiba - tiba muncul untuk desain yang harus dikerjakannya. Ia sulit berkonsentrasi dengan pekerjaannya, padahal banyak sekali pekerjaannya yang tertunda selama ia di rumah sakit.
Pada akhirnya ia menyerah. Ia mematikan laptopnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidurnya. Tama mulai membuka ponselnya. Berulang kali mengecek apakah ada pesan masuk. Terutama pesan dari adik bungsunnya.
"Udah dibalas Bang?" tanya Arya.
Sedari tadi Tama sudah mengirimkan beberapa pesan kepada Abil, menanyakan perihal jam kepulangannya. Tapi ia tidak kunjung mendapat balasan. Lalu Tama meminta Arya juga mengirimkan pesan. Meski Arya yakin jika Tama saja tidak dibalas, apalagi dia. Arya tetap menuruti perintah Abangnya.
"Belum Ar. Lo?"
"Apalagi gue. Telpon aja lah Bang."
"Nanti malu dia kalau ditelponi." Abil pernah mengatakan padanya kalau ia merasa malu dengan teman - temannya kalau ia sudah dicari atau diminta pulang padahal hari masih cukup terang. Sejak itu Tama memilih untuk mengirim pesan saja kecuali untuk hal penting.
Tama sudah membenamkan tubuhnya di dalam selimut. Tiba - tiba ia merasa kedinginan.
"Kenapa malu? Siapa su- dingin Bang?"
"Hmm, tolong naikin dikit ACnya Ar."
Arya mendekat ke Tama. Ia merasakan suhu tubuh abangnya dengan punggung tangannya. Terasa sedikit hangat.
"Lo demam Bang."
"Cuma agak meriang aja ini Ar."
Arya tidak langsung percaya begitu saja. Ia mengambil termometer dan mengecek suhu Tama. 38 derajat. Syukurny tidak terlalu tinggi. Tapi sekecil apapun sakit Tama tidak boleh diabaikan. Dalam waktu singkat dapat menjadi semakin parah.
"Lo kepikiran soal Abil ya?"
Tama hanya diam. ingin mengelak tapi tubuhnya memang akan langsung drop jika sedang banyak pikiran. Jadi tidak mungkin dia berbohong.
"Paling dia lagi keasikan main basket, terus gak pegang HP." Arya mencoba memberikan penjelasan.
Arya merapikan selimut Tama, berusaha membuatnya lebih yaman. Ia juga baru menyadari ternyata Abangnya bercucuran keringat. Ia mengambil tisu dan perlahan mengelap keringat yang membasahi wajah dan lehernya itu.
"Gue kompres ya Bang biar gak makin naik?"
"Gausah Ar, lo lanjut belajar aja." tolak Tama halus. Ia memejamkan matanya. Berusaha terlelap dan menyingkirkan rasa pusing yang hinggap di kepalanya.
===
Hendra pulang tepat waktu hari ini, tidak seperti semalam. Ia membawa satu plastik besar berisi ikan dan ayam bakar kesukaan para putranya. Tadi ia sengaja hanya masak sedikit lauk untuk makan siang, ia memang berencana untuk membeli makanan ini untuk perayaan kecil kecilan karena Tama sudah keluar dari rumah sakit.
Biasanya saat dia pulang akan ada Abil yang menonton televisi atau Tama yang sudah duduk di meja makan. Tapi hari ini tidak ada yang menyambutnya. Jadi ia memutuskan untuk mengecek ke kamar putranya.
Pertama ia melangkah ke kamar Abil. Tidak ada sautan saat ia mengetok pintu. Kamar itu juga masih tampak gelap saat ia buka. Ia jadi teringat bahwa putranya itu mengatakan akan bermain basket sepulang sekolah. Mungkin Abil pulang agak malam hari ini.
Setelahnya ia melangkah ke kamar Tama, kamar Tama dan Arya tepatnya. Begitu ia buka tampak Tama yang sedang berbaring di tempat tidurnya. Sebuah kain yang lembab tampak menghiasi keningnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?