17. Batuk

970 120 13
                                    


Aku gak sadar kemarin hari rabu, maaf ya :")

===

Wajah Arya dan Abil yang sedang menemani Tama yang terbaring lemah di kamar menegang. Hendra memannggil mereka dengan suara yang menggelegar. Merusak suasana pagi mereka yang tenang.

Abil menarik nafas dalam-dalam, ia sudah tahu apa yang akan terjadi. "Abang gak usah keluar, biar kami aja," ujarnya pelan.

Tama menggeleng. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat atau melawan Papa nya. Jika ia tidak muncul, amarah Hendra bisa semakin menjadi. Kejadian ini bukan pertama kalinya ia dan Abil hadapi.

Dengan bantuan Arya, Tama dipindahkan dari tempat tidur ke kursi rodanya. Tama duduk di kursi rodanya dengan posisi agak miring, beberapa bantal menyangga tubuhnya yang lemah dari samping. Kepalanya langsung bersandar penuh pada bantal yang sudah disusun. Ia terbatuk-batuk dengan dada yang terasa sesak dan napas yang tersengal. Arya memandang Abangnya dengan cemas, namun melihat bagaimana Abil dan Tama bereaksi ia tahu bahwa menentang Papa hanya akan memperburuk keadaan.

"Apa ini?!" tanya Hendra dengan nada yang semakin tinggi, membuat ketiga putranya yang sedang berada di hadapannya tersentak. "Kenapa kalian buang - buang makanan!"

Saat sedang memasak, Hendra menemukan sebungkus plastik yang sedikit terbuka di tempat sampah. Saat ia lihat lebih jelas, isinya adalah bubur dan telur rebus. Masakan yang dia persiapkan untuk Tama.

Emosinya langsung membuncah melihat masakan yang telah ia masak dengan susah payah dibuang begitu saja. Apalagi jika melihat dari banyaknya bubur di tempat sampah seperti belum dimakan sama sekali. Ia langsung memanggil ketiga putranya. Meski tahu selama satu minggu ini sejak ia dibawa ke UGD Tama hanya mampu berbaring dan tidak sanggup melakukan apapun tanpa bantuan. Namun, hari ini ia memaksakan diri untuk duduk ketika mendengar suara Hendra yang terdengar marah.

"Siapa yang buang ini!" tanya Hendra sekali lagi saat ia tidak kunjung mendapat jawaban.

Sebelum Abil bisa menjawab, Tama sudah mendahului, "Maaf, Pa. Itu Tama yang tumpahin. Tangan Tama gemetar kemarin waktu makan."

Papa menghampiri Tama dan berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan tajam. "Kamu tahu cari uang susah? Kalau memang gak kuat, biari orang yang lakui. Jangan sok kuat jadinya nambah kerjaan kayak gini!" suaranya semakin keras.

"Maaf, Pa," jawab Tama pelan, suaranya hampir tak terdengar. Beberapa kali ia terbatuk, ia berusaha meredamnya dengan menyembunyikan wajahnya di bantal.

Papa memijat pelipisnya, menahan amarah yang membuncah. "Biaya rawat inap sama operasi kamu yang terakhir aja belum beres Tam. Kemarin juga ke UGD pakai uang. Tolong minimal kasih contoh baik ke adikmu. Kamunya aja gak bisa hargai makanan kayak gini, gimana mereka? Kamu anak paling besar, harusnya bisa bantu Papa jaga adik - adik kamu."

Tama menunduk, tak bisa membalas. Selain ia merasa lemas, ia jua tidak tau harus berkata apa. Hatinya juga ikutan terasa sakit seperti tubuhnya.

"Jadi kamu makan apa kemarin?"

"Ma-huk uhukk uhuk" Arya segera menepuk-nepuk punggungnya, membantu mengeluarkan lendir yang mengganggu.

Hendra memgalihkan padangannya ke Abil yang sudah memakai seragamnya, menuntut jawaban saat ia rasa Tama tidak akan bisa menjawab lagi "Mama kirim makanan kemarin Pa..."

Hendra semakin marah mendengar jawaban dari putra bungsunya, wajahnya sudah merah padam. "Tersersah kalian aja, kalau kalian mau tinggal dengan Mama kalian juga silahkan." ucap Papa sebelum akhirnya berbalik dan mulai melangkah pergi, meninggalkan Tama yang masih sibuk berjuang untuk bernapas di kursi rodanya.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang