Abil sedang duduk di dalam mobil, beberapa kali ia mengetuk ngetuk setir di hadapannya. Ia memperhatikan beberapa orang yang berlalu lalang. Semuanya tampak memakai pakaian terbaik mereka. Senyum indah terkembang pada seluruh wajah orang yang berhadir, tanpa terkecuali. Wajar saja. Ia sedang berada di acara wisuda salah satu universitas ternama di indonesia.Arya merupakan salah satu wisudawan yang berbahagia hari ini. Ia telah berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya.
Abil menunggu di mobil karena hanya dua orang yang dapat mendampingi wisudawan. Tentu orang itu adalah Mama dan Ayah. Meski awalnya Ayah menolak karena ia merasa tidak pantas, ia tidak ingin mengambil tempat yang seharusnya milik Papa. Tapi Arya menekankan bahwa Ayah berperan besar dalam kehidupannya. Tidak ada yang menggantikan posisi satu sama lain. Semuanya memiliki tempat masing masing.
Meski gengsi untuk mengakuinya secara langsung, diam diam Abil sangat bangga melihat semua pencapaian Arya. Awalnya hubungan Abil dengan Arya lebih seperti teman, bukan kakak dan adik. Tapi perlahan Abil dapat melihat bahwa kakaknya ini samgat dapat diandalkan oleh semua orang.
Setelah berbagai hal yang mereka lalui dan banyak kehilangan selama ini, kakaknya itu masih dapat fokus dengan akademiknya. Bahkan menjadi salah satu lulusan yang berprestasi.
Membayangkan Arya untuk co-ass saja rasanya Abil tidk sabar. Apalagi saat nanti kakaknya itu telah resmi menjadi dokter. Ia akan menyombongkan kepada semua orang bahwa dokter hebat yang mereka temui adalah kakaknya. Tentu itu semua tanpa diketahui Arya. Ingat, gengsinya sangat besar.
"Kita turun yuk! Udah ada yang keluar itu Bil." ucap orang yang tidak kalah membanggakannya dengan Arya, Tama.
"Gak mau tunggu Kakak keluar dulu Bang? Nanti abang pusing panas panasan Napasnya juga belum enakan kan?"
"Nanti kelamaan mereka nunggu. Abang juga mau lihat lihat."
Abil mengiyakan permintaan itu lalu mematikan mesin mobil yang menyala. Ia turun dan langsung mengarah ke bagasi. Mengambil kursi roda dan mempersiapkan segala kebutuhan abangnya.
Dengan lihai Abil menggendong Tama. Ia pindahkan lalu posisikan tubuh yang tidak sanggup terlalu banyak bergerak itu. Tidak lupa ia juga membetangkan selimut untuk menutupi kedua kaki Tama yang tidak berfungsi lagi. Ia juga memastikan posisi kepala di headrest dan memposisikan kedua tangan Tama di armrest. Abil meletakkan jari abangnya untuk menggengam pengontrol kursi rodanya
"Aku dorong aja ya bang kursi rodanya? Jalannya rumput sama paving block gini." saran Abil setelah memperhatian daerah yang akan mereka lalui.
"Makasih Bil."
Perlahan Tama berusaha memindahkan tangannya dari armrest ke pangkuannya. Hanya gerakan sesedehana itu sulit ia lakukan. Tangannya bergetar dan jatuh terkulai begitu saja di pangkuannya. Abil hanya memperhatikan dalam diam, membiarkan abangnya melalukan segala hal yang masih mampu ia lakukan.
Sejak bangun dari koma kondisi Tama secra menyeluruh menurun drastis seperti perkiraan dokter. Bahkan tangan yang katanya masih dapat diselamatkan itu hanya bisa digerakkan sedikit. Ia tidak dapat mengangkat tangannya, hanya jari jarinya saja yang masih mampu ia gerakkan. Setidaknya ia masih dapat menggoreskan lukisan, meski tentunya tidak selihai dahulu.
Seluruh aktivitasnya harus dengan bantuan orang lain, bahkan hanya sekadar berubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Tentunya makan, minum, mandi, semuanya harus dilakukan oleh orang lain.
Ia juga sangat mudah kelelahan. Hidup dengan jantung yang rusak dan satu ginjal tentunya tidak mudah. Hari harinya lebih banyak ia habiskan di tempat tidur. Sesekali ia akan melukis di taman atau berbaring di ruang tengah. Saat ia merasa cukup kuat, keluarganya akan mengajaknya untuk berjalan jalan atau makan di sebuah restauran. Tapi setidaknya ia sudah remisi dan dalam kondisi stabil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?