Arya memandangi wajah abangnya yang sedang terlelap di kursi penumpang yang sandarannya sudah diturunkan dengan maksimal. Perasaannya saja atau Tama semakin hari semakin kurus. Berat badan abangnya memang tidak pernah menyentuh angka normal. Tapi rasa - rasanya tidak pernah sekurus ini.
Pipi yang biasanya tetap gembul meski tubuhnya kurus sekarang sudah ikut terkikis dan tampak sedikit cekung. Bawah matanya juga tampak menghitam. Saat ia memakaikan kaos kaki juga sudah longgar dan harus dilipat agar tidak melorot.
Bukan hanya tampilan secara fisik, stamina Tama juga sangat buruk. Biasanya jika tidak sedang injeksi atau flare up abangnya masih sanggup beraktivitas meski harus dibantu. Tapi belakangan ini untuk berjalan ke kamar mandi saja sudah menguras tenaganya. Bahkan pernah saat sedang berjalan tiba tiba tubuh Tama meluruh karena lemas.
Abangnya juga semakin mudah kedingin karena sedikitnya lemak dalam tubuh itu. Seperti saat ini, terkena pendingin di mobil saja ia sudah menggunakan cardigan dan tergulung dalam dua lapis selimut tebal. Membuat Arya semakin khawatir.
Terlepas dari semua kondisi itu Arya melihat Tama tetap bekerja. Bahkan sepertinya abangnya lebih banyak menghabiskan waktu di hadapan laptop dibandingkan dirinya. Dari pagi hingga malam Tama tampak berkutat dengan serius dengan laptopnya mengerjakan berbagai design. Tidak jarang Arya melihat tangan abangnya sudah gemetaran tapi tetap saja ia forsir.
Saat disuruh istirahat selalu saja ia diberkan jawaban yang sama.
"Dikit lagi selesai, kalau berhenti inspirasinya hilang."
"Sayang Ar gak dikerjai, ini lumayan duitnya."
Tapi sudah dua hari Abangnya tidak bekerja. Sendinya meradang semakin parah. Arya ingin membuang obat injeksi itu rasanya. Efek sampingnya tidak sebanding dengan hasilnya.
Lamunan Arya buyar saat Abil mengetok maca mobil. Ia membukakan kunci agar Abil dapat masuk.
Tadi pagi motor yang biasa Abil gunakan tidak bisa hidup. Jadi saat berangkat Abil bersama Papa, sedangkan saat pulang ia yang menjemput.
"Abang tidur?"
Arya mengangguk sambil mulai menjalankan mobil keluar dari parkiran.
"Ajak makan di luar aja gak Ar? Manatau Abang lebih selera." usul Abil yang sekarang memandangi wajah Tama.
"Gue oke aja, cuma takut Abang capek. Coba banguni pelan - pelan."
Abil mengelus lembut pipi Tama beberapa kali hingga matanya mengerjap, "Kalau makan siang di luar mau gak Bang?"
"Sorry Bil, kayaknya di rumah aja. Kalau gue muntah nanti buat heboh..." Tama merasa bersalah menolak permintaan adiknya. Tapi ia tidak ingin membuat kehebohan. Belakangan ini meski tidak sedang injeksi dia mudah sekali muntah. Sepertinya asam lambungnya berulah. Dia tidak perlu mempertanyakan penyebabnya. Dapat ia pastikan pikirannya yang sedang ruwet sangat berdampak pada tubuhnya.
"Maaf ya. Atau kalian aja, gue temani."
"Gakpapa Bang, tadi maksudnya biar Abang ganti suasana. Kalau memang badannya lagi gak enak kita di rumah aja." jelas Arya agar Tama tidak salah sangka.
Abil yang duduk dibelakang sedikit mecondongkan badannya untuk menarik selimut abangnya yang sedikit turun. Tama berusaha menarikmya sedari tadi dengan tangannya yang gemetar. Tapi sepertinya tenaganya tidak cukup kuat hanya untuk menarik selimut tebal itu.
"Tidur lagi aja Bang."
Tama tidak menolak dan langsung menutup matanya. Sepertinya tubuhnya sudah diambang batas. Tapi ia harus masih berjuang cukup keras karena Papa belum mendapat pekerjaan baru sejauh ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?