33. Sepi

790 138 16
                                    

"Tarik napasnya dulu Tam." instruksi Mas Adi, perawat pribadi Tama, yang sedang membantunya berjalan menggunakan walker menuju kamar Arya. Napas Tama sedikit memburu hanya karena ia berjalan beberapa langkah.

Sejak kepindahan mereka ke Jakarta, hidup mereka mulai tertata kembali meski dengan luka yang masih membekas. Semuanya kembali dengan rutinitas masing-masing. Abil kembali bersekolah, Arya kembali fokus belajar, dan Tama yang masih fokus untuk memulihkan kondisi tubuhnya.

Begitu Arya melihat abangnya memasuki kamarnya, ia segera bangkit dari kursinya dan membantu Tama berbaring di tempat tidur. Tama menghela napas panjang saat tubuhnya yang lelah merasakan kenyamanan kasur yang empuk itu

"Abang mau apa? Minum? Makan? Mau aku pijat?" tanya Arya sambil membetulkan bantal di belakang kepala Tama.

"Enggak usah, cuma bosan aja di kamar. Numpang tiduran bentar ya," jawab Tama dengan suara pelan.

Arya menghentikan kegiatannya dan tetap memijat kaki abangnya tanpa diminta. Tama sering mengeluhkan kakinya terasa linu jika sehabis dipakai berjalan. "Mas Adi istirahat aja dulu, biar abang sama aku." Ucap Arya pada perawat pribadi yang sudah bekerja cukup lama dengan keluarga mereka. Ia sempat berhenti bekerja dengan mereka saat Tama berada di Medan.

"Mas tunggu depan kamar ya, panggil aja kalau butuh." jawab Mas Adi sebelum keluar dari kamar.

Arya tetap melanjutkan kegiatan memijat kedua tungkai yang kurus itu. Kondisi abangnya semakin membaik, berat badannya juga sudah meningkat. Matanya juga sudah berfungsi dengan baik. Hanya saja stamina Tama masih sangat jauh lebih buruk dibandingkan sebelum ia mengalami kelumpuhan. Saat ini berjalan sedikit saja ia sudah kelelahan, harus ada orang yang memegang tubuhnya saat berdiri dan berjalan. Tidak jarang Tama tiba-tiba tertidur ditengah obrolan atau saat sedang dalam perjalanan.

"Abang mau ngapai sore ini? Mau nonton?"

"Nggak Ar, bosen. Pengen keluar rumah."

"Hmm, abang mau kemana?" tanya Arya pelan dan ragu.

Tama langsung menyadari kesalahannya saat mendengar nada bicara itu, "Nggak nggak, gak mau kemana-mana. Kok"

Arya hanya tetap diam, ia juga tidak enak hati dengan Tama. Sebagai orang yang tidak memiliki kegiatan wajib ia merasa bersalah tidak dapat menemani abangnya ke luar rumah.

Bukannya tidak mau. Hanya saja ini Jakarta, tempatnya sejak lahir sampai SMA. Kemanapun ia melangkah, akan ada kemungkinan besar ia berjumpa dengan orang yang dikenal.

Kemarin saja saat menemani Tama berkeliling di komplek ia sudah disapa banyak orang. Menanyakan ini dan itu mengenai perkuliahannya. Abangnya sampai harus menenangkannya yang mendapat serangan cemas sebelum kembali ke rumah.

"Hmm, kalau kita nonton film aja gimana bang di rumah? Abang mau sambil makan apa? Aku belikan ya?" tawar Arya kembali berusaha memberikan solusi dari kebosanan yang Tama rasakan.

"Gak usah Ar, gakpapa," ucap Tama sambil mengusak rambut adiknya gemas, "Abang mau melukis di halaman aja deh. Boleh tolong panggil Mas Adi?"

"Bang maaf... bukan gak mau temani abang keluar rumah..."

"Iya Aryaa, abang paham kok. Lanjut aja belajarnya ya?"

===

Kalau sudah sore hari, Tama mengisi kesehariannya dengan melukis di halaman belakang. Tidak banyak pilihan kegiatan yang bisa dia lakukan.

Lukisannya kali ini ntah mengapa hanya sebuah abstrak dengan campuran warna yang gelap. Seperti suasana hati yang sedang ia tutupi.

Tiba tiba airmatanya menetes. Sungguh ia sedang tidak ingin sendiri saat ini. Rumah mereka yang sempit dulu membuat semuanya selalu berkumpul bersama. Rasanya ia sangat merindukan Papa.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang