Tama melakukan rutinitas barunya sebelum tidur yang paling ia benci.
Suction.
Karena kemampuan menelan dan bernapasnya yang buruk karena ototnya yang lemah. Ia jadi sering tersedak ludah atau dahaknya sendiri. Tama juga tidak mampu untuk batuk. Jadi satu - satunya cara adalah dengan melakukan suction. Jika ingin dideskripsikan, seperti ada yang menyedot seluruh isi tubuhnya. Rasanya benar - benar tidak nyaman.
Hari ini saturasinya cukup rendah, penyebanya adalah dahaknya. Ia bernapas seperti ikan yang dikeluarkan dari air. Sudah dua kali ia disuction hari ini.
Tama mengalami infeksi dan demam tinggi setelah kemo yang ke empat. Dalam lelapnya ia tampak sangat tidak nyaman dan terus meringis. Saat bangun matanya nampak merah dan berair karena suhu tubuhnya yang tinggi. Membuat siapapun yang melihatnya merasa iba.
"Siap sayang?" Mama bertanya lembut, Tama mengedipkan matanya perlahan, tanda siap.
Sarah memberi kode pada perawat untuk memulai. Perawat memasukkan ujung selang ke dalam mulut Tama dengan hati-hati, berusaha agar tidak membuatnya semakin tidak nyaman. Mesin mulai menghisap dahak kental yang menyumbat saluran napasnya. Suara sedotan dan cairan yang masuk ke tabung transparan membuat hati siapa pun yang mendengar terasa ngilu.
Tama merasakan sensasi aneh dan menyakitkan saat selang itu bergerak di tenggorokannya. Ia ingin menggerakkan tangannya untuk menarik selang itu keluar, tapi ia belum dapat menggerakan tubuhnya. Setiap detik terasa begitu lama, setiap tarikan membuatnya merasa semakin tidak bertenaga.
"Tahan ya Bang, biar lega napasnya." Ia menutup mata, berusaha fokus pada sentuhan lembut tangan Mama yang mengusap pipinya. Kepalanya bersandar lemah di bahu Mamanya.
Sarah menghapus air mata yang mengalir dari sudut mata Tama, berusaha tetap tegar. "Sebentar lagi selesai sayang. Tahan ya," katanya lembut.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, perawat akhirnya menarik selang dengan lembut dan mematikan mesin. Tama hanya dapat menatap pasrah muntahannya yang berlendir dan berwarna putih. Cukup banyak, pantas ia merasa sangat sesak.
Dengan telaten Mama langsung membersihkannya dan juga memastikan wajahnya kering. Mama juga kembali meletakkan handuk basah yang menutupi dahi hingga kepalanya. Ia mendapat kecupan lembut di pipi sebagai hadiah karena sudah berhasil melewati prosedur yang menyakitkan.
"Udah lebih enak?"
Tama mengedipkan matanya sekali.
"Alhamdulillah. Istirahat ya sayang?" ujar Mama masih dengan posisi duduk yang sama. Sebelah tangannya sudah mulai mengusap dada putranya.
Sejak kemo dilakukan, Tama seakan merasa seluruh energinya habis. Ia tidak dapat menggerakkan satupun bagian tubuhnya. Bahkan mulutnya sulit ia gerakkan. Kalau sedang lemah -lemahnya, komunikasi yang dapat ia lakukan hanya melalui matanya.
Bahkan ia sempat sangat drop saat kemo pertama. Jangankan berbicara. Ia bahkan tidak dapat merespon saat dipanggil dan membuat Mama menangis histeris.
Tapi perlahan dapat ia rasakan kondisinya membaik. Rasa sakit di sendinya sudah jauh berkurang. Dokter juga mengatakan kadar rheumatic factor nya sudah mulai menurun. Jika kondisinya terus seperti ini, maka satu siklus kemo saja sudah cukup.
Ditengah keheningan terdengar ponsel Sarah yang berdering.
"Ada yang kangen ini sama abangnya sampe video call." Sarah menujukkan ponselnya kepada Tama.
Karena Tama sedang demam, Abil dan Arya tidak diizinkan menemui abangnya. Sarah sedikit khawatir karena mereka berdua banayak beraktivitas di luar ruangan yang tentu terapapar virus dan bakteri. Jadi untuk menghindari Tama dengan kondisi imun yang sedang dilemahkan tertular, mereka berdua harus sedikit bersabar untuk menemui abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exam?
General FictionSemua orang tahu kalau hidup dipenuhi oleh ujian. Tapi apakah semua orang tahu harus belajar dari mana untuk mempersiapkan ujian itu?