28. Gagal

836 143 17
                                    

Semangkuk bakso ada di hadapan Hendra. Sudah cukup lama ia mengabaikan keberadaan makanan itu. Dari kuahnya yang masih mengepul panas hingga kini sudah dingin dan mienya tampak mulai mengembang. Mengingatkannya akan sebuah kejadian di masa lalu.

Nasib semangkuk bakso milik Arya dan Abil yang duduk di kiri kanan Hendra juga bernasib sama. Tidak ada yang menyentuhnya. Mereka bingung harus berbuat apa saat ini.

Tidak sulit bagi mereka untuk menemukan Papa. Begitu mereka keluar dari hotel, terdengar suara klakson yang berbunyi nyaring dari berbagai arah. Ternyata penyebab kekacauan lalu lintas itu adalah Papa.

Mereka melihat Papa menyebrang dengan tatapan kosong seakan tidak sadar dengan keadaan sekitarnya. Pengendara yang memakinya tidak ia hiraukan. Ia sibuk berjalan lurus tanpa tujuan.

Arya langsung mengarahkan mobil untuk menepi di jalan raya. Lalu Abil langsung berlari keluar setelah mobil berhenti, ia tarik tubuh papanya untuk masuk ke dalam mobil. Itu semua terjadi dalam tempo yang cepat dan tanpa perlawanan sedikitpun. Papanya hanya diam dengan mata yang seolah kosong tanpa jiwa.

Setelah situasi cukup kondusif, diam - diam Arya menghubungi Mamanya untuk mengabarkan bahwa mereka sudah menemukan Papa agar abangnya tidak khawatir. Ia juga menghubungi Om Ranu yang mengikuti mereka dengan mobil lain karena bingung harus berbuat apa.

Jadi di sinilah mereka setelah mendapat saran dari Om Ranu untuk membawa Papa ke tempat yang penuh keramaian dan cukup familiar agar ia segera sadar dengan sekitarnya. Sebuah warung bakso yang pernah Papanya perkenalkan padanya dulu saat ia baru datang dari Jakarta menjadi tempat yang Arya pilih.

Tapi sepertinya keputusan mereka memilih tempat juga salah. Rasa bersalah Hendr kembali muncul ke permukaan karena pernah tidak menyediakan makanan yang bisa dimakan putra sulungnya yang memiliki banyak pantangan itu. Apalagi saat itu ia memang murni lupa karena terlalu semangat menyambut Arya, sampai - sampai ia tidak memperhatikan Tama yang selalu berada di sisinnya. Saat itu ia juga hanya membeli seporsi bubur ayam untuk sarapan Arya tanpa menawarkan Tama, padahal ia tahu bahwa putra sulungnya sangat menyukai bubur ayam.

"Aku pesankan teh manis hangat ya Pa?" tawar Arya membuka percakapan.

Hendra masih bungkam dan diam saja.

"Papa mau kita balik sekarang? Jumpa Bang Tama?" Kali ini Abil mencoba memancing dengan menyebut nama Tama.

Berhasil, papanya mengangkat kepala dan memberikan atensinya, "Tama? Tama gak kenapa - kenapa kan?"

"Tadi Abang sempat sesak, tapi sekarang udah gak papa. Kita balik yuk Pa?"

Hendra menggeleng. "Kalian aja, buat apa Papa balik? Gak ada gunanya kan?"

"Pa..."

"Memangnya kalau Papa gak ada, kalian kenapa? Selama ini juga gak perlu selama ada Mama kalian. Memangnya kapan kalian cari Papa?" ucapnya ketus.

Arya dan Abil menunduk, tidak dapat memberi pembelaan. Mereka memang salah. Setelah ditilik ulang, mereka memang tidak pernah memperhatikan papa mereka dengan baik. Padahal mereka selalu mendapat limpahan perhatian dan kasih sayang.

Arya selama di Jakarta tidak pernah mengabari duluan, selalu Papanya yang menelponnya. Ia tidak pernah bercerita atau meminta saran apapun. Ia merasa papanya tidak akan mengerti dan dapat memberi solusi. Bahkan abangnya sudah beberapa kali menegurnya untuk melibatkan Papa dalam pilihan hidupnya, seperti saat pemilihan jurusan. Tapi tetap saja tidak ia lakukan dan hanya berkonsultasi dengan mama.

Abil sendiri meski tinggal dengan papanya tetap bergantung pada Mama. Hanya karena papanya marahlah dia tidak meminta ini itu pada Mamanya. Sisanya, ia bergantung pada Tama untuk urusan hati. Baginya Papa tidak dapat diandalkan.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang