37. Ujian

828 129 33
                                    

Malam berganti pagi, ruangan ICU mulai berpendar dengan cahaya matahari yang menyelinap lewat jendela kecil di sudut ruangan. Arya masih setia di sisi Tama, memegang tangan abangnya yang masih terbaring lemah. Selimut bermotif alpukat menyelimuti tubuh kurus itu, memberikan kehangatan di tengah dinginnya ruangan.

Arya terjaga setelah beberapa jam terlelap di kursi. Ia menatap wajah abangnya dengan penuh harap, berharap ada sedikit pergerakan dari kelopak matanya. Namun, harapan itu belum dapat terkabul. Ia tahu, perjalanan Tama masih panjang dan penuh ketidakpastian. Waktu berlalu, hari berganti menjadi minggu. Setidaknta ondisi Tama stabil, meskipun ia belum sadar.

Setiap gerakan kecil yang Arya lakukan, seperti membenarkan letak selimut atau mengusap dahi abangnya, ia lakukan dengan harapan bisa memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan kepada abangnya.

Arya dan Abil semakin sering berbicara kepada Tama, menceritakan hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka yakin, meski Tama belum bisa menjawab, ia mendengar dan merasakan kehadiran mereka.

"Pagi Bang," bisik Arya lembut, meskipun ia tahu kemungkinan besar tidak ada balasan.

"Abang... bangun... besok aku ujian. Kemarin katanya mau ikut antar ke lokasi."

"Disini dingin ya Bang? Pake selimut ini anget kan?" monolog Arya sambil menaikkan selimut, tidak ingin udara dingin semakin menyakiti tubuh rapuh itu.

"Aku izin seharian ini gak belajar lagi ya Bang, mau temani abang aja."

Arya perlahan meletakkan kepalanya di dekat kepala Tama, seakan berharap abangnya dapat mendengar jika ia berbicara di dekat telinganya.

"Capek banget Bang, aku gak tau harus apa lagi kalau gagal lagi kali ini,"

"Tapi aku lebih gak tau lagi harus gimana kalau abang nyerah. Abang masih semangat kan?"

Tentunya tetap tidak ada jawaban. Hanya suara mesin yang berbunyi konstan menyahuti setiap kata yang ia ucapkan. Tapi seperti ini saja juga tidak apa. Selama mesin mesin ini berbunyi teratur, tandanya kondisi Tama baik - baik saja. Baik dalam dalam definisinya tersendiri pastinya.

Arya kembali memandang wajah Tama yang pucat, tampak tenang sekali meski berbagai selang yang pasti menyakitkan terpasang di tubuhnya,. Perlahan air matanya menetes, "Bangun Bang... siapa yang tenangi aku kalau kayak gini... "

Tangisan Arya terhenti sejenak ketika ia merasakan genggaman lembut dari tangan Tama. "Abang?" Arya bertanya penuh harap. Namun, genggaman itu perlahan mengendur kembali, membuat Arya sadar bahwa mungkin itu hanyalah refleks.

"Kalau abang memang belum mau bangun gakpapa. Pasti abang capek banget... kami semua tetap akan nunggu abang."

===

Di ruang tunggu, Sarah duduk bersama kedua putranya, Abil dan Arya, yang ia rangkul erat di kedua sisinya. Saat ini kakek mereka sedang menemani Tama. Kakek mereka langsung menuju Jakarta begitu mendengar kondisi cucunya yang memburuk. Ia sedih sekali saat mendaat kabar, apalagi ia telah mempersiapkan banyak hal saat mereka mengatakan akan ke rumahnya dalam waktu dekat.

"Ma, katanya mau bilang sesuatu?" tanya Abil, mengingatkan pada pembicaraan yang sempat tertunda tadi.

Sarah menarik napas panjang, menimbang kembali apakah ini saat yang tepat. "Besok aja setelah Arya ujian kita bahasnya," katanya lembut dengan senyum tipis.

"Kenapa Ma? Ini soal Abang?" tanya Arya penasaran.

"Iya sayang. Besok aja ya kita bahas? Fokus ke ujian aja dulu," jawab Sarah sambil mengeratkan pelukan pada putranya.

Exam?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang