Chapter 36

1.6K 156 131
                                    

Dari sekian banyak kabar yang di dengar.

Satu-satunya hal yang paling buruk.

Kemungkinan paling menyakitkan.

Tobio terpaku selama beberapa saat ketika informasi itu melewati telinganya.

Ponsel masih dalam genggaman, namun suara di seberang sana tak lagi terdengar.

Beberapa saat lalu ia masih berada di dalam ruang rapat.

Bersama anggota yang lain.

Ponsel yang tak henti bergetar mengalihkannya.

Awalnya diabaikan.

Karena pikirnya, bukan hal penting sang sopir menelpon.

Mungkin hanya laporan seperti biasa, atau hal  lainnya.

Namun, panggilan itu terus berulang hingga tiga kali.

Maka ini pasti penting.

Tobio undur diri, keluar dari ruangan rapat menerima panggilan tersebut.

Dan disitu lah, bahkan napasnya rasa terpenggal saat itu juga.

Ia kembali menyimpan ponsel tanpa mengatakan apapun pada supirnya.

Memasuki ruangan rapat.

Namun tidak dengan niat untuk kembali mengikuti.

"Aku harus kembali, ke rumah. Omegaku ... kecelakaan."

Tobio tak berharap apapun dari penyelaannya ketika rapat itu masih berlangsung.

Kakinya langsung melangkah dengan cepat.

Ia tidak memikirkan barang atau apapun lagi.

Tujuannya hanya bandara.

Tak lebih dari itu.

Saat dijalan, dengan sigap ia memanggil taxi.

Meminta secepatnya untuk mengantarkannya.

Tobio sangat panik.

Perasaannya campur aduk. Hingga tangannya ikut bergetar.

Hal yang paling ia takuti terjadi.

Apa seharusnya Tobio tidak meninggalkan Shoyo sendirian?

Padahal dia selalu dalam pengawasan, kenapa hal ini tetap terjadi?

Apa yang dilakukan oleh orang-orangnya?

Sialan.

Tobio memeriksa kantong celananya, ponselnya kembali bergetar.

Itu Miwa.

"Kau sudah dapat kabar?"

"Ya."

"Kami dalam perjalanan ke rumah sakit, kita hanya bisa berharap mereka berdua baik-baik saja."

Miwa tak mendengar jawaban.

Siapapun tau dalam situasi seperti ini, bahkan seorang Tobio pun dapat sangat khawatir.

"Kami akan menemaninya sampai kau kembali, tenangkan dirimu."

"Hm."

Miwa menutup panggilan tersebut.

Tobio menyingkap poninya kebelakang.

Apakah sungguhan tidak ada yang bisa dilakukan selain berharap Shoyo dan bayinya baik-baik saja?

Ia hampir frustasi.

Tidak, ini membuatnya gila.

Ia menghela nappanjang, "Lajukan mobilnya, pak."

Be Mine, ShoyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang