Chapter 37

1.6K 154 64
                                    

"Aku ingin melihat bayiku."

Tobio mengatup erat mulutnya. Bibirnya hampir berdarah kembali menahan emosi yang bercampur aduk di kepala.

Ia sangat mengerti pukulan yang dirasakan oleh Shoyo setelah mengetahui kenyataan menyakitkan mengenai bayinya.

Tobio sudah berusaha sebisa mungkin untuk memberikan penjelasan secara baik-baik agar Shoyo mengerti.

Namun tetap saja, apa yang diharapkan kepada seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Sesuatu yang selama ini selalu bersamanya, yang ia jaga dan hidup bersama dalam satu tubuh.

Perasaan sakit yang memukul habis hatinya membuat Shoyo menolak sadar.

Setelah operasi selesai, dalam waktu dua belas jam akhirnya Shoyo tersadar.

Dari awal Tobio sangat takut, ia memikirkan berbagai cara mengenai bagaimana caranya menjelaskan kepada Shoyo.

Keadaan Shoyo baru sadar tentu masih sangat lemah, jika kondisinya ikut menurun itu juga akan membahayakannya.

Tobio hanya dapat berharap bahwa Shoyo tidak mempertanyakan hal itu terlebih dahulu.

Namun, Shoyo sangat peka dan hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah,

"Apa bayiku baik-baik saja?"

Tobio berusaha tidak menjawab, ia mengalihkan pada hal lain.

"Bagaimana perasaanmu? Apa kau butuh sesuatu?"

Tobio menggenggam tangan Shoyo, tangannya yang lain mengusap pipinya dengan lembut.

"Tobio ...," panggilnya. Matanya menatap sayu, sebenernya Shoyo cukup lega ketika tau bahwa Tobio sudah kembali dan kini berada disampingnya.

Sekarang, mengingat kecelakaan yang terjadi padanya, lalu rasa ringan diperutnya membuat Shoyo penasaran mengenai bayinya.

Apa ia melahirkan tanpa sadar? Atau dokter mengeluarkan bayinya dengan cara operasi.

Shoyo hanya ingin tau.

Tapi Tobio seolah mengelak menjawab, selalu saja mengganti obrolan ke hal lain.

Shoyo merasa kesal, jelas. Padahal hanya menjawab pertanyaannya dengan singkat, kenapa sulit sekali?

"Jawab aku."

Shoyo membalas genggaman Tobio dengan cengkraman, namun anehnya Tobio justru diam, wajahnya kebingungan. Bahkan untuk menatap mata Shoyo saja tidak.

Dan, perasaan buruk menguasai Shoyo.

Tobio tidak pernah diam kepadanya. Lalu mengapa?

"Tobio?"

Suara Shoyo menjadi lebih tegas, deru napasnya semakin kencang memikirkan kemungkinan buruk yang ada di kepalanya.

"Kau harus istira---

"Jawab aku sialan! Begitu sulit menjawab pertanyaanku, huh?"

Tobio kehabisan cara.

Melihat Shoyo jadi tak terkontrol membuatnya tak tega terus mendiami pertanyaannya tersebut.

Tobio mengambil napas panjang, matanya menatap sendu.

Bibirnya sangat berat untuk bersuara, tapi Tobio memaksakan.

Ia menelan ludah kasar.

Sebelum kalimatnya keluar, Tobio mengulurkan tangannya, bertengger pada pipi Shoyo.

"Bayi itu--- Anak kita ... dia, menyelamatkan nyawamu."

......

Shoyo membuang segala pikiran buruk. Bukannya ia tak mengerti kalimat Tobio, hanya saja itu tidak mungkin.

Be Mine, ShoyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang