Chapter 41: Dinner

38 2 1
                                    

Isabella

Aku meneguk segelas anggur merah mendengar pertanyaan kakek ketika Irene masih menangis sebab ibunya menolak untuk bertemu dengan siapapun. Aku sebenarnya muak melihat semua prahara drama dalam keluarga ini akan tetapi, aku juga tak bisa lari. Jalan terbaik adalah menikmati tontonannya sampai selesai. Apa yang memangnya bisa diubah? Keluarga Foster memang suka berselingkuh, nenek dan kakek sendiri juga melakukan hal yang sama.

Paman Zach berdeham sembari menutup mulutnya setelah beberapa saat semuanya terdiam mendengar pertanyaan kakek.

"Kita bisa membicarakan hal itu nanti." Dia terlihat melirik ke arah Irene yang masih ditenangkan oleh nenek. 

"Baiklah," jawab kakek dengan memelototi paman Zach. 

"Maaf, aku harus mengangkat telpon." ucapku ketika mendengar dering ponsel di tengah-tengah keheningan yang hanya ada suara Irene menangis tersedu-sedu.

"Ada apa, Beth? Kau tidak biasanya menelpon? Aku masih dalam acara makan malam keluarga." ucapku kepada Mirabeth yang tetiba menelpon. 

"Kau sudah kembali? Aku ke rumahmu sebab aku pikir kau langsung kembali ke rumah. Ternyata kau tidak ada karena sedang menghadiri makan malam dengan keluargamu.

"Astaga! Maaf aku lupa membalas pesanmu. Aku sedikit sibuk beberes tadi jadi, aku tidak membuka ponsel sama sekali." ucapku. 

"Aku masih di rumahmu, ada yang mengirimkan sebuah kotak kesini. Baunya sangat tidak sedap, aku tidak membukanya sebab ini tertulis untukmu. Hanya saja aku yang menerima sebab kebetulan kotak itu datang ketika aku hendak masuk ke rumahmu." ucapnya. 

Aku mengernyitkan dahiku heran, "Jangan buka, kau sebaiknya pulang ke rumahmu. Aku akan mengurusnya besok setelah kembali dari laboratorium." 

"Baiklah, aku akan pulang. Aku akan mengunjungimu nanti, bye!" ucapnya pamitan.

Aku segera menutup telponnya dan kembali ke meja makan. Semua orang sedang menikmati hidangan utama sembari membahas mengenai konsep perayaan seratus tahun usia foster grup. 

Aku menikmati hidangannya sebab aku sudah menyalurkan idenya, giliran yang lain menyalurkan ide mereka. Alexander juga melakukan hal yang sama, sesekali dia menatap mataku dalam. Padahal istrinya sedang duduk di sampingnya, dia rasanya tak memiliki rasa takut kepada istrinya yang berada di sampingnya. Bahkan setelah setahun lebih hubungan ini bertahan, istrinya sama sekali tak menaruh curiga. Mungkin sebab dia sering dinas, Alexander sering menyempatkan waktu denganku ketika istrinya sedang dinas di luar kota. Ketika sedang tidak dinas, Alexander hanya akan menelpon di sela-sela waktu kerja atau sesekali dia menyempatkan waktu untuk pergi ke klub setiap malam sabtu. 

Setelah acara makan malam keluarga selesai, aku memutuskan kembali ke hotel disusul oleh Alexander beberapa saat setelah aku sampai di hotel. 

"Aku tidak tau harus menjawab apa atas pertanyaan itu, Alexander. Semua itu akan terdengar sangat rumit." Aku duduk di pinggiran kasur kamar hotel.

Alexander masih berdiri dengan mengernyitkan dahinya tak paham atas kalimatku. "Jelaskan saja, sayang. Aku pikir dia sudah mati akan tetapi, mengingat kau pernah menunjukkan kepadaku fotonya waktu itu. Aku yakin kau pasti mengetahui sesuatu atau kau bahkan terlibat dalam hal itu." Dia membelai wajahku dengan lembut, dia terus merayuku yang membuatku ingin tidur dengannya bukan menjawab pertanyaannya. 

Aku berdiri di hadapan tubuhnya. 

"Jika kau sudah tau, mengapa harus bertanya atau menebak, sayang?" Aku menarik dasinya, melepaskannya kemudian melemparnya ke atas sofa.

"Isabella, apa yang sudah kau lakukan, hmm?" Dia menarik risleting dressku dengan gentle sementara, aku melepaskan kancing kemejanya dengan gentle. 

"Banyak hal, sayang. Butuh waktu lama untuk menjelaskan semuanya, ada banyak hal yang kau pikir kau sudah mengetahui semuanya akan tetapi, beberapa orang memilih menyembunyikannya dari semua orang. Namun, sebagian yang terlibat mengetahuinya." jelasku seraya menarik risleting celananya. 

Forbidden DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang