Chapter 22: Strong Meditation

41 0 0
                                    

Isabella

"Ya, karena itu adalah sikap kalian berdua, kalian sama saja!" teriakku memarahinya.

"Aku menyesal karena telah kembali." Aku beranjak dari kursi untuk keluar. Aku merasa pengap ketika dia sengaja mengingatkan aku atas kejadian tempo hari. Aku sangat-sangat membenci hal itu.

"Satu hal lagi sebelum aku pergi, aku minta maaf karena ini semua terjadi adalah salahku kendati Mama mengatakan pantas mendapatkannya. Pantas atau tidaknya itu tidak akan mengubah fakta bahwa aku tidak sengaja menusukkan pisau itu ke perut Mama." ucapku datar.

"Baiklah, Mama memaafkanmu, Isabella. Tapi, tolong jangan pergi lagi." ucapnya memelas.

Aku mengangguk saja tanpa merespon lagi.

"Isabella, tolong jangan pergi lagi seperti tempo hari. Mama tidak ingin kau pergi lagi, Bella." teriaknya kepadaku yang sudah mendekati pintu. 

Aku tak menggubrisnya, aku tetap teguh untuk keluar karena kondisinya berangsur stabil. Dia sendiri merupakan dokter spesialis penyakit dalam. Dia tau apa yang harus dilakukan ketika memiliki luka itu. Aku rasa Mama tidak akan kabur karena dia itu wanita dewasa, aku harap dia tidak akan kabur.

"Isabella, bagaimana keadaan ibumu? Apakah dia baik-baik saja?" Papa menghampiriku ketika aku baru saja keluar dari kamar Mama.

"Ya, kondisinya cukup stabil. Besok dia sudah bisa pulang ku rasa, tergantung dokter yang merawatnya saja." jawabku datar.

"Kau akan pergi kemana? Apakah kau sudah meminta maaf?" Dia mengangkat alisnya sebelah penasaran. 

Aku menoleh ke arahnya, "Ya, aku sudah melakukan apa yang diperlukan, menjadi anak perempuan dengan tata krama keluarga Foster yang telah diajarkan ketika berbuat salah harus meminta maaf bukannya kabur tanpa penjelasan yang jelas." jawabku datar.

"Sayang, kau sepertinya masih marah. Berapa kali kami harus meminta maaf kepadamu?" 

Mataku mulai berkaca-kaca mendengar kalimatnya yang seolah membawaku ke masa-masa sulit itu. "Bahkan jika aku memaafkan kalian sekalipun, itu tidak akan mengubah apapun." 

Aku sudah tak kuat membendung air mataku, aku meninggalkannya bersama salah seorang pengawal yang berjaga di depan pintu kamar Mama. Aku menangis sepanjang perjalanan keluar rumah sakit. Rasanya sungguh sangat menyakitkan ketika harus mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Melihat hal itu kembali membuatku tak dapat berhenti menangis sampai dadaku terasa sesak. Aku seperti melihat mereka yang bertengkar di dalam kamar, Mama yang hanya menutupi tubuhnya dengan selimut waktu itu sempat membawa seorang lelaki ke rumah ketika Papa telah berselingkuh dengan seorang wanita.

Dia balas dendam atas perbuatan Papa, dia marah setiap hari, melampiaskan seluruh amarahnya kepadaku dan Dean yang tidak tau apapun. Setiap hari Dean akan memelukku ketika melihatnya berteriak marah. Aku masih mengingat dengan jelas, andai saja tidak ku beritau bahwa Papa berselingkuh, dia mungkin tidak akan sampai membawa lelaki ke rumah. Dia melakukan hal itu tepat ketika aku berusia 18 tahun. Dean tidak ada di rumah karena dia menempuh pendidikan bisnis di Amerika Serikat.

Aku tidak tahan ketika harus menyaksikan dia seperti itu. Aku lelah dengan pertengkaran mereka setiap hari. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk berada di Melbourne, mengambil beasiswa kedokteran yang menjadi impianku. Tanpa sadar, mereka menerimaku, aku senang karena sudah bisa hidup mandiri. Walaupun pada akhirnya Papa mengetahui semuanya dan membiayai seluruh kebutuhanku sampai aku selesai.

Kedua orangtuaku telah menciptakan luka di dalam diriku tanpa mereka sadari. Mereka juga telah melukai hati Dean, hanya saja dia tidak mengetahui semuanya termasuk ketika aku menghilang sebab menyaksikan kejadian itu secara langsung. Dia tidak mengalami traumanya sementara, aku harus memaafkan kedua orangtua yang tidak tau apa alasan mereka berselingkuh dari satu sama lain.

Forbidden DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang