Alexander
"Huh, apakah kau baik-baik saja?" Aku mengangguk.
Aku sedikit terkejut Isabella ternyata bergerak lebih gesit dari yang ku kira. Dia seketika menembak pria yang masuk ke dalam kamarnya yang nyaris menembak kami.
"Bagaimana kau bisa memiliki pistol itu?" tanyaku penasaran.
"Aku meletakkan pistolnya di bawah bantal tidurku. Aku selalu membawanya kemanapun sebenarnya, kau tau ini adalah barang kesayanganku." Dia tersenyum menyeringai menatap ke arah pistol yang kemudian dia simpan kembali di bawah bantalnya.
"Aku akan menghubungi red agar mereka membereskan pria ini." ucapku sembari menggulir layarku mencari kontak seseorang untuk ditelpon.
Isabella terlihat menyipitkan matanya menatap pria yang tergeletak, "Tunggu sebentar, aku sepertinya mengenal pria ini." ucapnya tetiba.
Aku menyipitkan mataku menatapnya lagi, "Bukankah dia pria red? Aku pernah melihatnya dilatih ketika berkunjung untuk meminta data Rick Bennet di kantor red." Aku mengernyitkan dahiku heran, kepalaku penuh dengan pertanyaan saat ini. "Jika dia red, mengapa dia mencoba membunuh kita?"
"Alexander, bisa kau periksa di ruang tamu. Tadi sempat terdapat tembakan sebelum pria ini masuk ke dalam kamarku." ucapnya ketika mendengar suara sedikit ramai di ruang tamu.
"Halo, Frans ada orang mati di sini. Telpon polisi dan bereskan dia." perintahku kepada salah satu senior red.
Aku membuka pintu kamar Isabella dan melihat Elizabeth tergeletak penuh darah di sebelah sofa ruang tamu. Mark terlihat menghalangi beberapa orang yang hendak masuk sebab melihat insiden penembakan.
Para petugas medis sedang mencoba untuk mengevakuasi Elizabeth. Dia masih mengenakan busana dokter, aku tidak tau apa yang akan dia lakukan. Wajahnya sudah tampak pucat, aku khawatir terjadi sesuatu dengannya.
"Bagaimana keadaannya?"
Para petugas medis menggelengkan kepalanya, "Dia sudah meninggal, Tuan. Kami sudah mencoba berbagai cara untuk menyelamatkannya akan tetapi, sepertinya kami terlambat datang. Dokter Elizabeth tadinya datang bersama dengan pengawalnya, kami datang setelah mendengar beberapa tembakan yang samar-samar." jelas salah seorang dokter.
"Pengawalnya?" Aku menyipitkan mataku.
"Benar, Tuan. Bukankah setiap anggota keluarga Foster memiliki pengawal masing-masing?"
"Ya, itu benar. Aku hanya tidak menduga bahwa pengawalnya adalah seorang pengkhianat." jawabku.
"Kami akan merawat mayatnya, pengawal anda sepertinya sudah mengabari Tuan Dean Foster dan keluarganya." Dokter itu pamit bersama para petugas medis lainnya membawa jasad Elizabeth keluar dari ruangan Isabella.
"Alexander, siapa yang meninggal?" teriak Isabella bertanya.
Aku menutup pintunya agar dia tak melihat para petugas kebersihan yang masih membersihkan sisa darah yang berceceran di lantai ruang tamunya.
"Elizabeth Foster, kakak iparmu. Dia sudah meninggal, dia ditembak oleh pengawalnya sendiri." ucapku sendu.
"Pria ini adalah pengkhianat." Aku menunjuk ke arah pria yang tergeletak tak bernyawa akibat tembakan Isabella.
Mata Isabella mulai berkaca-kaca, dia hendak turun dari ranjangnya akan tetapi, aku melarangnya sebab kondisinya masih belum baik. Dia menangis tersedu-sedu dipelukanku sebab mendengar kabar duka bahwa kakak ipar sekaligus sahabatnya telah meninggal dunia. Aku memanggil dokter Mia melalui tombol yang tersedia sebab Isabella mulai sesak napas karena banyak menangis. Dia begitu bersedih setelah mendengar kabar ini, Mia yang datang dengan cepat pun menyuntikkan obat penenang yang membuat Isabella tidur seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Desire
RomansaFoster S-3 Alexander & Isabella (21+) Alexander Grant Foster memilih untuk menikah dengan Jane Maynard, kekasih dan sahabatnya setelah kematian calon istrinya. Dia mencintai istrinya yang kian hari mulai pudar karena kehidupan sebelum dan setelah pe...