Chapter 51: Plan to Married

38 0 0
                                    

Isabella

Aku mengerti Alexander melakukan sesuatu untuk mempertahankan hubungan kami atau setidaknya untuk menikahiku secara legal tanpa adanya skandal tentang perselingkuhan kami yang mencuat di publik. Meskipun publik tidak tau, keluarga dekat, rekan atau teman dekat sekalipun akan mengetahui hal ini. Aku memang salah, seharusnya sejak awal aku tidak menerima Alexander sebagai kekasihku. Dia melakukan banyak hal gila untuk mendapatkan aku sepenuhnya. Jika dia melakukan dengan sesuatu yang benar, kebencian mungkin tidak akan muncul dalam diriku.

Meski begitu, tetap saja hubungan ini harus tetap berlanjut untuk suatu alasan. Kita sudah berhubungan sejauh ini, aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku juga tak ingin sendirian dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Aku harus memaafkan setiap kesalahannya sebab aku masih mencintainya. Jika saja rasa cinta bisa berpindah kepada orang lain dalam waktu yang singkat tanpa proses, tanpa standar tertentu maka, aku akan meninggalkan Alexander ketika dia mengatakan bahwa dia telah meracuni istrinya dan menyabotase pesawat pribadi istrinya. 

Aku memijat pelipis kepalaku yang terasa sakit, meski aku juga membunuh seseorang, belajar menembak atau strategi bagaimana melindungi diri dan bagaimana membunuh agar tidak membekas namun, aku melakukan itu untuk kepentingan banyak orang. Aku bahkan menolak penyiksaan di laboratorium yang berkedok penelitian untuk serum dan obat. Aku masih menghargai kemanusiaan sebab beberapa orang layak untuk hidup. Jika mereka bersalah, seharusnya hukum yang bertindak untuk menghukum mereka.

"Maaf, bunganya baru datang. Kemaren aku ingin mampir akan tetapi, aku khawatir kau akan menunggu lama." 

Aku menerima sebuah buket bunga yang dia berikan, 

"Aku akan memanggil dokter Mia jika kau sakit. Kau baik-baik saja, kan?" tanyanya seraya membelai wajahku. 

"Apakah kau benar-benar menginginkan aku?" tanyaku kepadanya. 

"Kau juga menginginkanku, sayang. Kita menginginkan satu sama lain untuk bersama. Aku tidak perlu mengingatkanmu masa-masa ketika kita berada di Munich dan di Melbourne dulu. Semenjak bertemu denganmu malam itu, aku bukan hanya menginginkan cinta dan hatimu, melainkan dirimu sepenuhnya." Dia menyelipkan rambutku ke belakang. 

Aku meletakkan buketnya di atas meja, menatap kedua matanya dengan tatapan nanar, "Alexander, apakah harus begini caranya? Apakah kau tidak punya cara lain selain membunuh seseorang?" 

Dia menyingkirkan tangannya dari wajahku. Dia menatapku serius, "Kita sudah terbiasa untuk itu, keluarga kita memang seperti itu, Isabella. Apa yang kau harapkan? Mereka berbuat sesuatu seperti malaikat? Bahkan jika ada manusia seperti itu, sepertinya kedengarannya mustahil sebab bagiku daripada berkorban lebih baik mengorbankan sesuatu untuk kebahagiaan kita." 

Dia berhenti sejenak untuk menghela napas. "Selama kita mampu untuk mengorbankan sesuatu atau seseorang dan memenangkan pertarungannya, mengapa tidak? Jangan berkorban jika tak bahagia dengan berkorban untuk seseorang." lanjutnya dengan tenang. 

"Tapi, selain kebahagiaan juga kita perlu kedamaian, Alexander. Bagaimana jika mereka menghantuimu dan kau tidak hidup damai? Bagaimana jika sesuatu yang kau lakukan tidak membuatmu merasa damai?" Aku mulai meneteskan air mataku menatap kedua matanya. 

"Nyatanya aku tak pernah merasa bersalah untuk memperjuangkan kebahagiaanku sendiri. Kau adalah wanita yang ku cintai, kau adalah seseorang yang membuatku bahagia dan merasakan kedamaian yang mana tidak ku dapatkan dimanapun. Aku melakukan semua ini untukmu, Isabella." jawabnya tenang. 

"Aku akan melakukan sesuatu untuk Brandon, kau tidak perlu khawatir." ucapnya menenangkan. 

"Kau tidak akan membunuhnya, kan?" tanyaku memastikan.

Forbidden DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang