❥FIFTEEN

1.3K 100 10
                                    




***

5 Bulan Kemudian.

Di rumah sederhana itu menjadi hal yang memilukan, sebab Bapak tua menghembuskan nafas terakhirnya membuat Cita, Candra dan Cano sangat terpukul. Kebahagiaan padahal baru mereka rasakan di tempat sederhana yang penuh dengan kehangatan.

Sekali lagi, Cita merasakan sakit. Kehilangan dengan orang yang di sayang di depan mata.

"Bapak!" teriak Cano memeluk tubuh kaku tersebut. Sedangkan Candra terus menggenggam tangan dingin bapak tua. Di hutan, di rumah sederhana yang sangat terpencil mereka hanya bisa menangis dan memakamkan tubuh Bapak tua di belakang rumah.

Halaman yang cukup luas, juga tempat mereka menanam sayur-sayuran dan beberapa buah kecil.

Cita bersama Candra menggali tanah dengan perasaan sedih, sementara Cano bersama si kembar yang duduk di papan kayu yang seperti gazebo itu menatap dari teras.

"Heung! Mmm.. Heum.. Mam.. Egeh~!" gumam Celly yang berusaha untuk menyusul ibunya, sementara Calvin terus melompati di duduknya mengepak tangam ingin mendekati ibu dan kakaknya di halaman.

"Ssstt.. Dede diam dulu, kita tunggu di sini saja okay de?" ucap lembut Cano menahan Celly dan Calvin dari belakang.

"Euumm.. Mma.. Heung.. Mii.." tangan Celly terus mengudara, mengepal lepas ingin menggapai.

"Heung.. Heung!! Ngaaaa.." ucap Calvin memukul papan kayu.

Cano mengecup pipi Celly dan mengusap kepala Calvin, sambil tersenyum melihat tingkah adiknya. Namun kembali menyendu kala pandangannya ke depan, ia baru saja meresahkan bahagia dengan sosok seorang kakek di hidupnya, namun ia hanya merasakannya lima bulan.

Mereka bahkan sudah lupa akan kehidupan luar, dan perkotaan serta kemewahan. Hati mereka sudah kaya, kaya akan kebahgiaan yang berlimpah dengan kesederhanaan yang mereka dapatkan.

Cita mendorong papan kayu beroda yang selalu di gunakan bapak tua untuk mengangkut kayu bakarnya dari hutan, papan kayu yang di buat sendiri oleh bapak tua dengan telaten.

Dengan di bantu Candra, Cita menguburkan jasad bapak tua, lalu bersama kembali menimbunnya.
Cita dan Candra menatap sekali lagi kuburan Bapak tua, rasanya sangat sangat tak rela.

Candra mengambil papan, terukir nama bapak tua di sana. 'Amakam Huseing'

"Bapak.." ucap Candra berlutut, air matanya terus mengalir, "Andra akan melindungi Mommy, Ano, Al dan El.. Bapak bisa mempercayakannya pada Andra.." ucap Candra meremat tanah makan Bapak tua.

Berganti, Cita di sisi lain tak pernah berhenti menangis. Memandang lekat papan nama milik pria tua yang selalu melindungi dan menghidupi dirinya dan anak-anaknya, hidup bersama selamat lima bulan menciptakan kebahagiaan yang tak akan terlupakan.

Sangat di sayangkan, umur penyelamatnya tak panjang. Dan meninggalkan banyak kenangan indah.
"Pak.. Terimakasih atas semua kebaikan bapak kepada ku dan anak-anak, semua perlakuan dan jasamu akan kami ingat.. Hiks.."

"Tapi.. Tapi kenapa bapak menyembunyikan penyakit bapak dari Cita pak, kenapa.. Hiks.."

Cita menangis pilu, Candra langsung memeluk tubuh Ibunya. Cano yang melihat dari jauh ikut menangis, si kembar yang menatap dari jauh mendongak menatap kakak mereka yang menangis tampa mereka mengerti. Namun si kembar menyandarkan kepala mereka di depan tubuh Cano, memeluknya dan tak lama si kembar juga ikut menangis, bahkan suara tangis merekalah yang lebih besar.

Cita segera bangkit bersama Candra, mencuci tangan terlebih dahulu dan menghampiri Cano dan si kembar.

"Kenapa nak?" ucap Cita. Cano mendongak, dengan matanya yang memerah.

"Bapak.." ucap Cano, kembali Cita ikut menangis memeluk Cano dan Si kembar, Candra pun ikut memeluk ibu dan adik-adiknya. Mereka berpelukan saling menguatkan atas apa yang telah terjadi.

**

Di ruangan yang sudah terlihat seperti kapal pecah kamar utama dari kediaman Callisthenes.
Sosok tinggi yang biasanya menjadi orang terangkuh dan di kagumi di kota Abama, menjadi seperti cangkang kosong. Namun tak akan ada yang berani mendekat terlebih melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.

"Kakak.." ucap Caca yang memasuki kamar Cakra yang hilang keterangan.

"..." Cakra tak bereaksi, ia hanya duduk di kursinya dengan pandangan terus menatap jendela.

"Makanlah heum?"

"..."

"Kak..!"

"... Keluarlah Caca."

"Kakak! Ini sudah lima bulan, kenapa kamu masih terjebak?! Bukankah ini kan yang kamu mau selama ini, lalu kenapa sekarang seolah kamu menjadi korban disini!" ucap Caca yang sudah kehabisan kesabaran.

Cakra memandang wajah marah adiknya.
"Apa katamu?!"

"Ya! Kamu selalu bersikap dingin dengan kakak ipar, bahkan kamu sendiri dengan berani memiliki wanita lain di belakang, apa lagi yang tak membuat hancur perasaan kakak ipar ku!"

"Diam Caca."

"Lah kok marah! Kan ini hasil yang kakak tua"

"Ku bilang. Diam! Kau tak mendengar kataku!" ucap Cakra mendorong tubuh Caca di dinding dengan tangannya yang mencekik leher Caca.

Caca hanya diam menatap tajam pada wajah kuyu kakaknya. Sebenarnya ia juga merasa iba akan keadaan kakaknya yang selalu kehilangan kendali dan tampak orang hilang. Namun, ia sangat benci dengan kakaknya secara bersamaan.

"Caka! Apa yang kamu lakukan! lepaskan adikmu" ucap Kalista dengan berteriak.

"Cakra!" ucap Kalista kembali saat sulungnya belum menarik tangannya.

Orang suruhan Kaslita segera masuk dan memisahkan kakak beradik itu, Caca terbatuk Kalista langsung memeluk pundak Caca.

"Tindakan gila apa lagi yang kamu lakukan Caka! Kamu bahkan ingin membunuh adikmu sendiri?!" ucap geram Kalista menatap tajam pada Cakra.

Cakra hanya terdiam, ia melenggang pergi tampa berucap ataupun berbalik menatap keadaan adiknya.

"Hhah~ dimana sebenarnya Cita berada.." ucap sedih Kalista, Caca segera memeluk ibunya orangnya tak menemukan hasil yang mereka harapkan. Membuat keadaan Mansion semakin kacau dan seperti neraka karena pemimpin yang tidak dalam suasana hati yang baik.

Di ruangan kerjanya, Cakra terduduk menatap foto keluarga beberapa bulan yang lalu keluar, foto saat penobatan dan pengenalan anak-anaknya.

Tangan dengan jari panjang dan berurat itu terulur mengusap wajah istrinya dengan pandangan rindu dan penyesalan.

"Kembali.. Kembalilah.. Sayang.." cicitnya penuh damba.

Cakra terus menatap dengan tangan kirinya mengepal kuat menahan tangisnya. Juga perasaan marah yang menyelimuti dirinya.

"... Aku merindukan kalian.."


















T. B. C

POSESIF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang