❥FORTY-SEVEN

749 54 8
                                    

***

Di desa Kalalo tempat yang akan menjadi kota, begitu di kejutkan dengan kedatangan orang terpenting di pusat kota Abama, bukan hanya satu namun kedua pemimpin terkenal tersebut datang dengan bersamaan, siapa yang tak mengenal dua mobil orang terkenal di kota Abama, mereka sangat sering di sorot bahkan mengalahkan kepemimpinan presiden.

Tamarius terkejut mendapati Ayahnya juga datang, sementara Tanaka menatap dingin ke arah Tamarius, kemudian beralih pada Candra, Cano, Calvin dan Celly.

Cita langsung memeluk tubuh Cano, sesaat kala Calvin bangkit. Celly yang sudah mendapati Ayahnya langsung menerjang tubuh kekar Cakra.

"Daddy~..." ucap lirih Celly memeluk Cakra, tangan besar itu mengusap punggung putrinya sesekali memberikan kecupan di pucuk kepala Celly.

Candra menunduk menyapa Tanaka yang juga hadir, kemudian menyambut keluarga Renia yang baru sampai. Kembali melirik Tamarius yang mengikuti langkah tegas Tanaka.

"Maaf Pak, Bu.. Kejadian ini-" perkataan Candra terhenti.

"Tidak apa-apa nak. Mari kita tunggu dan berdoa," ucap Ayah Renia, sementara ibu Renia masih bersedih di dekapan suaminya.

.

Di tangga darurat.

Sepasang Ayah dan anak itu berdiri saling terdiam, Tamarius duduk di tangga sementara Tanaka berdiri kokoh di depannya dengan kedua tangannya masuk ke saku.

"Bukankah kamu sudah menempatkan orang disisi Celly? Kenapa bisa kejadian." ucap datar dan dingin Tanaka menatap tajam pada putranya.

Tamarius hanya terdiam, ia tak bisa menyampaikan kalau orang yang ia tempatkan untuk menjaga telah hilang kabar sejak sebelum kejadian.

"Tama."

Tamarius mengepalkan kedua tangannya yang berada di depann wajahnya. Tanaka mendengus, ia menendang tempat sampah yang ada di sudut ruangan jalur ke lantai bawah.

Tanaka langsung berlalu meninggalkan Tamarius di ruang tangga darurat.

**

Tanaka sedang berbicara serius dengan seseorang tak jauh dari keberadaan mereka. Setelah mengangguk sosok tersebut pergi, menatap sekilas pada Cakra yang terus memperhatikan dari jauh. Memberikan tundukkan pada Cakra, lalu berlalu.

Tanaka membuang kasar nafasnya, pandangan kedua pemimpin itu saling bertemu beberapa detik kemudian Cakra lebih dulu memutus pandangan. Tanaka kembali bergabung dengan mereka, menunggu hasil operasi.

Diam-diam Candra masih menunggu kembalinya Tamarius, namun sudah beberapa menit sosok dengan perangai tenang itu tak kunjung kembali.

"Kak?" ucap Calvin yang memegang pundak Candra. Fokus Candra yang menatap pintu tangga darurat teralihkan mematap Calvin, menaikan satu alisnya.

"Kata Daddy, kita kekedai dulu untuk beli makan" ucap Calvin di angguki setuju oleh Candra, lagi Candra melirik pintu tangga darurat sebelum benar-benar pergi meninggalkan rumah sakit.

.

Di suatu tempat, gudang terbengkalai.

Sosok laki-laki berwajah datar melakukan beberapa tindak kekerasan, wajah korban dan seluruh badan menjadi luka, bahkan wajahnya sudah tak berbentuk.

"Kau kemana sebelum kejadian?" tanyanya dengan wajah datar dan suara yang begitu dingin.

"A.. Aaku.."

"Bukankah sudah ku tegaskan jangan main-main?"

Sosok tak berdaya itu menunduk menyesal, kedua tangannya terikat dengan kaki di tekuk berlutut.

Kembali sosok itu melayangkan bogeman yang tak main-main, korban bahkan berpaling dan terbaring di atas lantai. Pandangan dingin itu melirik pada dua orangnya, dengan cepat kedua orang itu kembali membangunkan tubuh lemah tersebut untuk berlutut.

"Lepaskan ikatannya!" perintahnya.

"Hatar. Kali ini ku maafkan," ucapnya, kemudian duduk di kursi kayu yang tersedia.

Sosok yang bernama Hatar itu mendongak menatap lamat pada laki-laki di depannya, ia hanya bisa mengangguk karena keadaan wajahnya sudah babak belur.

"Obati lukamu." kembali Hatar hanya mengangguk.

Tangan laki-laki tersebut terulur menyentuh pundak kokoh orang kepercayaannya juga sebagai kawannya.
"Selalu ingat kesalahan mu, jika tak ingin bernasib sama pada orang yang pernah kau bawa padaku sebelum-sebelumnya." ucapnya lalu berlalu.

Hatar memandang punggung lebar dari tuannya yang keluar, mengingat segala pekerjaannya yang akan memberikan pelajaran pada orang-orang yang menganggu jalan tuannya, melihat langsung bagaimana kejamnya tuannya menghilangkan nyawa orang seperti berburu menembak burung tampa perasaan.

Tubuhnya di bantu bangun oleh dua rekan kerjanya, bangkit dan meninggalkan tempat pertemuannya dengan putra bungsu keturunan Irwin, Tamarius Irwin Hamk.

**

Lampu ruang operasi telah padam, segera mereka berdiri.

"Dokter bagaimana?" tanya Ibu Renia yang tak sabaran.

Dokter tersebut menunduk, dengan rasa tak berdaya seraya menggelengkan kepalanya. Sontak tangis pilu terdengar di ruangan.

Cano bangkit dan marah, ia mencengkram kuat bagian depan jas putih milik dokter.
"Tak berguna, tak becus! Masa hal ini kau tak bisa menyelamatkannya! Rumah sakit apa ini!" ucap Cano marah.

Cakra dan Tanaka memisahkan Cano yang marah, bahkan kedua pemimpin itu sedikit kelawan dengan amukan Cano yang tak ingin di sentuh.

"Ano! Tenang! Jangan seperti ini!" ucap tegas Candra berdiri di depan Cano.

Tiba-tiba tubuh kuat Cano melemah, tubuh itu meluruh ke lantai. Cakra dan Tanaka melepaskan pegangannya, menatap iba pada Cano.

Cano tertunduk, ia tak mengeluarkan air mata namun pandangannya mengosong.

"Kakak..." ucap Celly pelan-pelan mendekati tubuh Cano dan memeluknya.

"Kak Ano nggak sendiri.. Ada El.. " ucap Celly.

Brangkar milik Renia di dorong kain putih menutup seluruh tubuhnya. Cano langsung bangkit menahan brangkar tersebut menjauh, memeluk tubuh yang sudah kaku itu sampai sebagian kain putih tersebut tersibak menampilkan wajah imut yang sudah menjadi pucat.

Cakra menarik Celly ke pelukannya, tubuh putrinya bergetar. Ruangan hanya terdengar suara racau Cano yang memarahi, memerintah bahkan melembut memanggil Renia yang tak akan pernah terbangun.































T. B. C

POSESIF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang