❥TWENTY SIX

1.2K 85 3
                                    


***

Kalista bersama Caca di sampingnya menunggu di depan ruang operasi Cakra, proses sudah berlangsung dari 4 jam yang lalu, ia sampai sekitar 1 jam setengah.
Matanya juga beberapa kali melirik area luar, sakiranya menemukan sosok sejak tadi di tunggunya.

"Caca.. Kakakmu.."

"Tenanglah mam, kak Caka adalah orang yang kuat. Hal seperti ini bukan apa-apa untuknya"

"Tidak Ca, terlepas dengan kakakmu yang memang bukan orang biasa, dan menerima pelatihan dari orang profesional.. Juga sudah sering mengalami banyak tantangan ekstrim. Tapi dengan sekarang, rasanya Mama tidak bisa percaya akan hal itu, darah terus mengalir Ca, darah.." ucap khawatir dan tangis Nyonya Agung dari Callisthenes.

Caca memeluk tubuh Ibunya, memberikan ketenangan pada sosok tangguh namun lemah jika itu bersangkutan dengan anak-anaknya. Harta yang tersisa dari mendiang suaminya.

"Caka..."

"Mam~...."

"Apa yang akan Mama katakan pada Papamu kelak jika kakakmu lebih dulu mati Ca, apa yang akan Mama katakan di kehidupan sana.." gelengan keras Kalista berikan untuk menolak kemungkinan yang akan terjadi pada sulungnya. Satu satunya pemimpin Callisthenes. Caca semakin memeluk tubuh ringkih ibunya ia ikut sedih dan khawatir akan keadaan kakaknya yang sedang berjuang melawan maut.

Jonathan dan istri Tenias beserta Dandi datang dengan berlari. Kalista mengangkat wajahnya, berpikir itu adalah langkah cepat orang yang sejak tadi di tunggunya, namun pandangan itu semakin redup kala yang datang hanyalah teman sekaligus orang kepercayaan Ckara.

"Nyonya agung.." ucap Jonathan, Kalista semakin menangis, Tenias langsung duduk di samping lain tempat Nyonya agung dari Callisthenes, ikut memberikan semangat dengan memeluknya. Caca bangkit, menatap Jonathan dan Dandi.

"Bisa aku minta tolong?" ucap Caca. Melihat keseriusan dari adik atasannya, keduanya mengangguk.

"Aku tahu mungkin Ayah Yema tak berani membawa keluar kak Cita apalagi meninggalkan mereka tampa pihak dominan di sampingnya..."

Mereka masih menunggu wanita yang mereka anggap sebagai adik sendiri itu melanjutkan ucapannya.

"Bisa kalian menjemputnya? Aku hanya mempercayai kalian, mengingat kalian adalah orang kepercayaan kakak,"

"Baik," ucap Dandi, dan Jonathan hanya mengangguk. Lalu segera berlalu, Caca memandang kepergian mereka berharap iparnya itu sudi untuk kemari.

jika Jonathan dan Dandi kembali tampa adanya iparnya, maka itu sudah membuktikan benar-benar sudah tak ada perasaan Cita pada kakaknya, dan Caca tak akan memaksanya lagi untuk ikut terseret dengan kehidupan Callisthenes.

Sementara di rumah besar seorang diri, sosok yang sejak tadi sedang bersantai menonton tayangan televisi menikmati makanannya dengan perasaan puas. Seulas senyuman terbit di wajahnya yang tampan.

Sambil memotong steak dagingnya dengan alunan musik yang menambah suasana kebahagiaannya, daging yang sudah terpotong, ia tusuk dengan garpu dan memasukkannya dengan anggun, sembari tangannya yang lain memutar gelas yang berisikan anggur merah.

Tangannya yang masih memegang garpu terayun mengikuti alunan musik. Pikiran semakin memikirkan kenikmatan yang semakin mendalam pada dua sosok cantik yang terus menggerogoti pikirkannya.

Memiliki keduanya adalah keinginan terbesarnya kini, namun yang paling merusak otaknya adalah keinginan untuk sosok kecil cantik bak peri hutan yang baru lahir, seakan hal inilah yang ia cari selama ini.

"Aaahh~ benar-benar nikmat, gila putri pria brengsek itu benar-benar cantik bahkan melebihi kecantikan ibunya.." ia melanjutkan pikiran liarnya membayangkan wajah cantik wanita incarannya, sembari ia mendesah dan menggerang menahan nikmatnya, di bawah meja makan ada seorang wanita seksi yang ia bayar untuk memuaskannya malam ini.

"Yaahh~ aaaahh~ eeumm.." tangan kanannya yang memegang anggur menyiram kepala si wanita kemudian menarik kasar dagu dan segera melumat secara dalam nan kasar, benar-benar liar.

Jonathan bersama Dandi baru sampai ke kediaman Ayah Cita, penjaga memberikan gestur hormatnya dengan menunduk sedikit pada tuan yang menugaskanya, lebih sopan lagi saat itu adalah Cakra.

"Langsung bersiaga" ucap Dandi. Di angguki mereka. Sementara Jonathan melanjutkan langkahnya mengetuk pintu dari Tuan Yema yang membuka.

"Nak Jo?" ucap Yema

Jonathan menunduk menberikan salam pada  orang yang di hormati Cakra, ia pun sama menghormati pria paruh baya di depannya.

"Apa ini karena perintah Nyonya Kalista?" tanya Yema, Jonathan menggeleng.

"Nona muda, Tuan Yema juga ikut,"

Yema mengangguk, ia percaya dengan kemampuan Jonathan dan Dandi, mengingat mereka rekan pelatihan dulu.

Yema berjalan masuk sementara Jonathan menunggu di luar.
Mereka semua keluar dari kediaman Yema, dengan Celly di gendongan kakeknya, Calvin di gendongan neneknya, Candra dan Cano memegang tangan Ibunya.

"Silahkan masuk Tuan, Nyonya, tuan muda kecil dan nona muda kecil," ucap sopan penyambutan Jonathan dan Dandi.

Mereka hanya mengangguk, pengecualian untuk si kembar mereka sudah tertidur. Walaupun tahu tak akan mendapat respon dari si kecil mereka pun harus melakukan itu.

Kendaraan berlalu.

.

Mereka yang masih berada di depan ruang operasi masih menunggu, wajah Kalista langsung mendongak dengan wajah lelahnya namun mata yang berbinar, bagaimana tidak langkah kaki terburu yang ia dengar dengan menunggu sosoknya akhirnya tiba.

Cita langsung menghamburkan pelukannya pada ibu mertuanya, sama-sama saling menguatkan. Perlakuan mereka tak luput dari pasangan mata yang memang berada di sana.

"Caka akan baik-baik saja Mam, iyaaa.." ucap Cita, dalam hati ia terus berdoa demi keselamatan Cakra.

Tangis mereka semakin keras, di iringin tangis si kembar yang padahal sudah tertidur pulas di gendongan kakek dan neneknya.

"Heeemm.. Mereka pun tahu akan keadaan Daddy nya.." ucap sedih Caca, ia sejak kedatangan iparnya menyambut pelukan pada Candra dan Cano yang juga menangis dalam pelukannya Cano terus menanyakan keberadaan Daddynya.

























T. B. C

POSESIF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang