❥THREE

2.3K 135 13
                                    

***

Di dalam ruang kerja Cakra duduk di sofa single dengan bersandar dan wajahnya menegada ke atas, memikirkan wajah wanita yang selama 9 tahun ini sudah di nikahinya. Membayangkan adanya duplikat dari wanita yang selama ini selalu mengabdi padanya, dengan tubuh kecil berlarian dengan tawa kecilnya membuat hatinya seketika menghangat.

Ia tak pernah berpikir untuk ia memiliki seorang anak perempuan, yang hanya di pikirannya adalah meciptakan keturunan yang meneruskan pekerjaannya, bahkan harus melampauinya. Tak pernah sekalian pun ia memikirkan bahkan membayangkan sosok seorang anak perempuan di kehidupannya yang terlalu monoton.

Baru kal ini, ia berpikir setelah mendengar suara gumaman dari si kecil. Akan lebih menyenangkan rasanya jika mahluk kecil itu berlarian dan memberikan keceriannya di hidup monotonnya selama ini.

Ponselnya berdering, lamunan wajah putri yang di bayangkan sirna seketika. Berdecak, lalu mengapainya.

"Kenapa?" ucap malas Cakra dengar datar.

"Kamu tak mengabariku jika sudah sampai di Mansion, kamu tanya padaku kenapa?!" terdengar suara kesal dari sebrang, membuat suasana hati Cakra seketika menjadi suram.

"Sudah malam, tidurlah. Aku juga ingin istirahat setelah penerbangan ku 14 jam di pesawat"

"Ya.. Baiklah, good night sayang. Mimpi kan aku ya~" Cakra hanya bergumam meletakkan dengan malas ponselnya.

Lalu bangkit dengan malas dari sofa, membersihkan dirinya yang sangat lelah. Ruang kerja sudah di lengkapi fasilitas yang lengkap, ada kamar mandi, set tempat tidur dengan ukuran yang sangat besar, kulkas, dan area memasak dan bar mini. Cakra lebih senang berlama di ruang kerjanya, selain menghindari istri dan anaknya ia juga menyukai ketenangannya.

***

Pagi hari.

Di meja makan, mereka berkumpul makan bersama hanya si kembar yang tak ikut. Ia hanya di temani beberapa dari pelayan setia Cita. Tak ada yang berani membuka percakapan di meja makan, karena aturan dari Cakra, namun jika Cakra tak ikut makan suasana bebas dan soal tata krama makan pun hilang. Terlebih ibu mertuanya lebih banyak membuka pembicaraan. Membuat Cita lebih santai dan merasa nyaman. Tak seperti sekarang, terasa tertekan dan mencengkam, sangat harus berhati-hati dan penuh etika.

Cakra lebih dulu menyelesaikan sarapannya, setelah melap sudut bibirnya dengan anggun dan berkharisma. Cakra bertopang, dengan menaikkan kedua tangannya di atas meja seraya menyatukan kedua tangannya di depan wajahnya.

Menatap satu persatu anggota keluarganya.
"Kenapa tak ada yang memberitahu ku soal kelahiran anak itu?" ucap dingin Cakra, menatap tajam pada Cita dan berganti pada Caca.

"Mam?" sambung Cakra menatap Ibunya dengan selidik.

Kalista tak ingin berbicara dengan putranya yang memiliki sikap persis dengan mendiang Suaminya yang ia cintai sekaligus ia benci. Membuang muka, dan meletakkan alat makanannya dengan etika tata krama di atas meja makan.

"Mama sudah selesai," ucap Kalista lalu beranjak. Cakra terus menatap kepergian ibunya yang tak menanggapinya sedikit pun.

"Caca, ada yang kamu ingin bicarakan?" ucap kembali Cakra dengan intimidasinya. Diam-diam Candra mengepalkan tangannya yang berada di atas pahanya.
Melirik pada adiknya Cano yang duduk di kursi khusus balitanya, menikmati dengan tenang makanannya. Sekilas Candra mendapati sikap yang persis dengan Ayahnya pada Cano.

POSESIF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang