38. Tuan yang terhormat

51 5 0
                                    

Oh, My King :D, Sekali jatuh cinta gak bakal ganti 😌

*****

Arsakana duduk di singgasana megah ruangan utama istana, di belakangnya Tristan, Treos dan Tirta berdiri sigap. Mereka menanti kedatangan Tuan Harsa. Suara Bario, kepala pelayan membahana menyampaikan kedatangan ayah Naningga.

Mata tajam Arsakana mengamati Harsa memasuki ruangan, wajah masam si saudagar susah payah dipaksa untuk tersenyum. Kemampuan berlakon kali ini gagal total, salam hormatnya terkesan terpaksa. Di belakang Harsa, air muka sepupu dan adik kandung sama buruknya. Kentara kabar burung yang sengaja diembuskan telah mengenai sasaran yang tepat.

Tatapan Arsakana berkilat mencerminkan suasana hati yang siap bertarung kata. Harsa menegakkan tubuh tambunnya dengan susah payah, berusaha menunjukkan ia tak gentar. Prameswari mendukung mereka. Anggota keluarga Prabawana yang berada di istana sepakat melaporkan tindakan lancang Arsakana ke Dewan Kerajaan. 

Jadi, apa yang perlu ditakutkan? Raja tanpa dukungan akan berjalan terpincang-pincang,  ia tetap membutuhkan kekuatan penyokong kekuasaan. Keangkuhannya tak akan berguna. Sinis senyum Harsa tak sabar menelanjangi kelakuan pongah Arsakana. 

"Apa yang membawamu ke sini, Tuan Harsa?" tanya Arsakana membahana di ruangan.

Senyum palsu Harsa mengembang. "Kehormatan bagi kami, Yang Mulia, berkenan bertemu." Dia melanjutkan dengan air muka nestapa bagai beban besar menghimpit dada. "Yang Mulia, kami mendengar desas-desus bahwa putri kami mungkin akan diturunkan sebagai calon permaisuri. Kami datang untuk mencari kejelasan."

"Desas-desus? Kalian datang ke sini atas dasar desas-desus?" Arsakana bertanya dengan nada tegas. Namun, menyiratkan seakan perihal tersebut sungguh lemah untuk dilakukan.

Nandes mengeram pelan di belakang Harsa. Perlakuan Arsakana bagai orang asing untuk sepupunya, meski Arsakana adalah raja, kedudukan Harsa bukan tamu kerajaan biasa melainkan calon ayah mertua sang Raja

Harsa berusaha tenang, walaupun terkejut melihat tanggapan Arsakana yang menantang. "Yang Mulia, kami hanya ingin memastikan masa depan putri kami di istana. Kami berhak untuk ambil bagian jika terjadi sesuatu terhadap Naningga- calon permaisuri sah."

Arsakana berdiri dari singgasananya, menatap tajam. "Masa depan putri kalian? Kalian datang ke hadapanku dan berbicara tentang masa depan? Apakah kalian lupa siapa yang memegang kekuasaan di kerajaan ini?"

Harsa menekuk wajah. Tanggapan Arsakana di luar perkiraannya. Dari cara menjawab, Arsakana tidak memperlakukan layaknya ayah mertua. Harga diri Harsa terbanting keras, andai di depan saat ini bukan seorang raja, niscaya kepalanya tak akan lekat di leher lagi.

"Kami tidak bermaksud menentang, Yang Mulia. Kami hanya ingin memahami posisi putri kami. Dia adalah calon permaisuri kerajaan."  

Arsakana mengepal tinju, suaranya semakin berapi-api."Pahami, Tuan Harsa! Kerajaan ini bukanlah tempat bagi mereka yang hanya memikirkan posisi dan kekuasaan pribadi. Ada ancaman besar di luar sana, musuh yang mengintai, dan kalian datang dengan kekhawatiran tentang desas-desus?" 

"Desas-desus memiliki sumber Yang Mulia. Sesekali hanyalah kabar burung yang tak perlu diperhitungkan, tapi kadang kala berasal dari sumber terpercaya, berupa kebenaran yang disembunyikan. Atas kebimbangan ini. Timbul keraguan di antara keluarga kami, terlebih putri tersayangku mengatakan belum ada titah resmi dari calon suaminya mengenai kepastian pernikahan," papar Harsa panjang lebar, ia mulai gemetar. Keberaniannya mulai menciut.

"Sudah kalian temukan sumber desas-desus itu?"

"Tak penting bagi kami sumber kabar yang menurunkan pandangan buruk orang kepada keluarga Prabawana, yang ingin kami tahu. Benarkah Paduka menurunkan titah mengangkat seorang gadis sebagai permaisuri tanpa persetujuan Dewan Kerajaan? Rakyat dan kita semua tahu, Naningga lah secara sah berhak menjadi pasangan Anda."

Wanita Sang RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang