Penolakan

115 14 4
                                        

Kilatan mata Arsakana menciutkan keberanian Denting. Ia memundurkan langkah, sampai tubuhnya merapat pada tembok menara.

Dalam kesunyian yang tercipta. Suara detak jantung seakan terdengar. Raja Agung mendekat dengan langkah pelan. Sengaja melakukan sambil memandangi mata Denting.

Wanita yang terang menolak kehadiran di hati. Sisi lain hatinya kecewa, setengah lagi justru bergairah. Di saat semua wanita rela menjatuhkan diri pada kakinya, justru satu orang menolak terang.


"Selamat datang, Yang Mulia Raja Agung." Akal sehat kembali menguasai Denting, ia tahu basa-basi tak berguna melihat senyum samar sang Raja.

"Tidak perlu berlagak seperti calon permaisuri yang patuh, selagi kepala kecilmu berpikir melarikan diri dariku."

"Hamba tak berani, Yang Mulia."

"Kamu mengelak bermaksud melarikan diri."

Denting menguatkan diri menghindari pengakuan. Menepis pertukaran rahasia dengan pelayan yang mengirimkan pesan pada Prasmewari.

"Pengawal bawa pelayan pengkhianat, kemari."

Suara jeritan dan rantai yang di seret menggema. Menciutkan nyali Denting seketika. Dia terngangah melihat tangan pelayan di pegang oleh dua pengawal. Menjerit ketakutan dan memucat memandang Denting.

Detik selanjutnya dia bersujud di kaki Arsakana memohon ampunan. Tatapan Raja Muda menancap di manik mata Denting. Memamerkan kekuasaan yang ia miliki.

"Ruangan bawah tanah tempat yang tepat bagi pengkhianat." Dingin suara Arsakana. Membekukan Denting, ulahnya telah membelokkan nasib sang pelayan. Bibirnya bergetar hebat.

"Ampuni, Hamba ... Yang Mulia. Ibu hamba sedang sa-kit  ... Berikan am-puni pada hamba bodoh ini."

"Calon permaisuriku mengatakan dia tidak pernah menyuruhmu melakukannya. Kehidupan tak layak bagi pembohong."

"Ti-dak. Di-a ... pembohong!" Pelayan mendongak wajahnya dari posisi sujud. Menatap Denting dengan mata marah.

Jauh di dalam lubuk hati pelayan muda, ia mengutuk tawaran wanita pilihan Raja. Gadis yang bahkan belum resmi diumumkan sebagai pengganti Naningga. Raja terlihat begitu menyukainya. Berdiri dalam jarak dekat dengan Denting.

"Cambuk dia, Pengawal. Berani mengatakan calon Ratu Masa Depanku sebagai pembohong!"

Teriakan pilu menggema di ruangan. Denting memalingkan pandangan. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mulai bermunculan di dahi. Dia menatap Arsakana pasrah.

"Ba-wa dia menyingkir ... Da-ri sini." Suara Denting kalah dengan jeritan sang pelayan, tapi pendengaran Arsakana cukup jelas.

"Dengar pengawal bawa dia ke ruangan bawah tanah. Hukumannya akan di tetapkan nanti."

Tubuh lemah pelayan malang itu terseok ketika dipaksa berjalan. Setiap gesekan lantai dengan rantai yang terpasung di kakinya, menggoreskan luka di hati Denting. Dialah penyebab masalah yang ada.

Pintu kayu setebal lima meter menutup. Tertinggal hanya dia dan Arsakana. Raja tampan itu merapat pada Denting. Dia mencemooh gadis yang menempelkan diri pada dinding menara. Tak ada jarak antara Arsakana dan Denting, bahkan hembusan hangat Raja Muda terasa di wajah Denting.

"Kamu akan mencabut kehidupan seorang manusia sebentar lagi."

"Tidak, Yang Mulia tak bisa sekeji itu."

"Bukan aku yang kejam. Dia bersalah mengkhianati seorang Raja."

Denting tahu Arsakana menanti permintaan maaf yang sukar ia keluarkan. Mengetahui betapa keras kepalanya dia. Arsakana memainkan peran, memamerkan kekuasaan yang ia miliki.

Raja Muda bukan Partha, Denting tak bisa bermain dan melakukan sesuatu di belakangnya. Arsakana berbeda.

Gadis itu meluruhkan tubuh ke lantai. Bersujud memohon ampunan untuk sang pelayan. Dia bersalah, tak sepantas pelayan malang itu menerima hukuman mati. Teringat kembali oleh Denting ketika pelayan mungil itu awalnya menolak, tapi dirinya memaksa. Setengah ketakutan akhirnya dia menerima Denting.

"Hamba bersalah, Yang Mulia. Hamba telah berbohong."

Arsakana mendiamkan saja. Dia butuh lebih lagi permintaan maaf. Tak selalu dia melihat Denting tanpa perlawanan, Arsakana menikmatinya.

Denting menahan napas. Arsakana belum menjawab. "Ma-afkan Hamba dan pelayan, Yang Mulia."

"Apa yang kudapatkan dengan memaafkan kalian."

Denting diam. Dia memikirkan sebuah alasan tepat. Memeras otak agar mendapatkan pengampunan Arsakana.

"Pengabdian Yang Mulia," jawabnya lemah.

Suasana hening, hembusan dingin angin dari jendela menara menambah suasana mencekam. Butuh berapa menit ketika tangan Arsakana meraih bahu Denting. Membantu gadis itu berdiri dari posisi sujud.

Pandangan Denting mengabur, berdiri dari posisi sujud. Dia belum pulih seutuhnya, ketika bibir lembab Arsakana tenggelam dalam bibirnya. Semakin dalam. Tangan sang Raja memegang belakang kepalanya. Mencecap gadis yang ia klaim sebagai Ratu Masa Depan. selagi berita ini belum resmi diumumkan.

Denting tahu Arsakana tak akan pernah melepasnya lagi. Terlebih dia sudah menjanjikan pengabdian pada sang Raja.

Arsakana memundurkan tubuhnya, sedikit kecewa karena Denting tak membalas ciumannya. Gadis keras kepala, rutuknya dalam hati. Tidak mengapa karena hatinya telah terpaut pada Denting.

"Aku akan mengatur pengumuman calon permaisuri yang baru," bisik Arsakana tepat di telinga Denting.

"Pergolakan akan terjadi, Yang Mulia. Hamba tak bernilai tinggi untuk itu."

"Aku menyukainya. Sudah lama kerajaan ini tentram. Para pecundang akan menunjukkan wajah asli, dan Ksatria serta Prajurit terlalu lama tidur tanpa pernah menunjukkan keahlian sesungguhnya."

Arsakana kembali memberi ciuman sekilas pada Denting. Menatap bayangan yang terpantul pada manik mata gadis dihadapannya. Tak ada cinta di sana, membuat ia tersenyum tipis dalam hati.

Aku menyiapkan seorang Ratu kuat. Anak-anakku harus lahir dari wanita yang bermental baja. Gadis ini telah menunjukkan nyalinya. Aku menyukainya lebih dari siapapun.

Raja Agung meninggalkan ruangan. Menutup pintu kayu tua. Dia menjaga sang calon permaisuri dari sentuhan siapapun.







Wanita Sang RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang