37. Kemarahan Ibu Suri

41 3 0
                                    

Matahari dan bulan silih berganti tugas. Setiap hari merupakan kisah baru yang dicermati Arsakana dengan seksama. Meletakkan bidak pergerakan yang akan mengubah kehidupan dirinya dan kerajaan 

Kabar pergantian Naningga sengaja diembuskan oleh Trio Bakuda, bergerak di area kerumunan. Dari pasar, pentas drama, perkumpulan kelas atas, rumah bordil, pameran seni dan tempat yang memungkinkan satu cerita menyebar dari mulut ke mulut.

Api telah dinyalakan, sekarang tinggal menunggu penyebaran panas yang mulai terlihat. Secara diam-diam, keluarga Harsa di istana mulai bergerak. Mereka kerap terlihat di kisaran kastil, memantau dari jauh atau berpura-pura menikmati udara di taman yang dulu tak sudi mereka lakukan.

Prameswari pun tak tinggal diam. Tak kurang lima surat telah dilayangkan dari wilayah tempatnya berlibur. Andai punya sayap, Arsakana yakin ibunya pasti sudah terbang melesat menemuinya. Dari isi surat terakhir, kesabaran Prameswari  kian menipis. 

Tak pelak pagi ini Arsakana menerima kedatangan sang ibu yang baru tiba dini hari di istana. Wajah-wajah panik dan khawatir mewarnai para dayang yang berjalan di belakang Prameswari. Suasana hati ibu suri pasti sangat buruk.

"Putraku!" Pramewasri mengibas kipas tangan menutup mulutnya. Dayang dengan terburu meletakkan alas tempat duduk untuk sang ibu suri. Lantas pergi meninggalkan dua orang penting kerajaan duduk berhadapan.

"Ibu, terlihat bahagia baru pulang liburan," balas Arsakana terdengar satir, karena wajah Prasmewari merah padam. Berkali-kali kipas di tangan menjadi pelampiasan, dicengkram dengan kuat.

"Katakan pada Ibu, apa rencanamu, putraku?" tanya Prameswari tanpa basa-basi. Jawaban surat dari Arsakana tidak membuatnya puas, kali ini ia bertekad membahas hingga ke inti permasalahan.

"Aku punya banyak rencana dan tak semua rencana bisa dibicarakan dengan bebas."

Prasmewari menyipitkan mata, menelisik tajam buah hati semata wayang. Hubungannya dan Arsakana bukan seperti ibu dan anak pada umumnya. Di hadapan saat ini, seorang Raja dari 10 wilayah. Termasyur atas keagungan dan kebijakan memimpin kerajaan besar. Dengan kekuasaannya, hal lumrah segala rencana berderet untuk kerajaan. Namun, Prameswari hanya butuh mendengar satu rencana yang membuat tubuhnya terserang demam karena beban pikiran.

"Ibu ingin tahu tentang Denting. Apa rencanamu, Putraku?"

Tak ada keterkejutan di wajah Arsakana. Tenang ia bicara. "Kita mengulang pembahasan yang sama. Aku mencintai Denting dan sedang dalam perkembangan untuk mengumumkan kekasihku sebagai calon ratu."

Jantung Prameswari nyaris lepas mendengar nada tenang Arsakana. Umurnya memang sudah tua, tetapi ia tak sudi mati gara-gara wanita pilihan putra kesayangan.

"Akalmu sudah hilang, Arsakana! Ibu telah perintahkan Denting hanya bisa menjadi selir."

"Aku yang akan menjalani pernikahan bukan ibu. Aku tak butuh selir."

"Kamu butuh!" seru Prameswari dengan murka, kipas lipat di tangannya berderak akibat cengkraman kuat, mematahkan helaian kayu cendana yang tersusun rapi.

Dia merinding jijik membayangkan punya menantu gadis bangsawan kelas tiga. Klan keluarganya akan ternodai memiliki putri dan putra mahkota dari keluarga rendahan. Bagi Prameswari penawaran menjadi selir  sudah merupakan kebaikan tak terhingga untuk Denting. Selain itu seorang selir lebih mudah disingkirkan dari seorang ratu. 

"Ibu mengatakan sebaliknya kepada mendiang ayahanda ketika berniat menyunting seorang selir."

"Kamu bahkan masih kecil saat pernikahan terjadi, dari mana kisah itu didengar?" Prameswari melengos, kisah selir kesayangan mendiang suaminya masih membekas, terlebih keberadaan Pangeran Bairu yang mengingatkan pada Selir agung itu membuat masa lalu sukar hilang dalam benaknya.

Wanita Sang RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang