45. Asa itu telah hilang

115 8 3
                                    

Asaku menjelma menjadi debu yang diterbangkan angin, tercerai berai. Napasku terasa sesak, bahkan menangis pun aku tak sanggup. Air mataku menguap sebelum sempat menitik. 

Apa gunanya hidup ... guna?

***

Harapan adalah keinginan yang membuat seseorang bertahan, meskipun penglihatan mata mengatakan mustahil. Namun, hati tetap bermimpi. Semata demi suatu keyakinan, asa itu akan menjadi nyata.

Naningga masih berpegang teguh pada kalimat yang terus dibisikkan oleh hati. Berharap Arsakana akan berubah. Tak pelak kedatangan surat Arsakana untuk bersua pagi ini di gazebo danau, membuatnya tampil jelita menyiratkan kegembiraan hati.

Senyum bahagia terukir di wajah cantik yang gaungnya terdengar hingga negeri seberang. Mengiris pedih hati para dayang kepercayaan demi melihat wajah dingin Arsakana. Tanpa satu kata yang terdengar di telinga mereka, seyogianya semua paham. Desas-desus yang berembus telah menemukan kebenaran.

Arsakana mengganti calon permaisuri. Naningga bukanlah pilihan. Kepala para dayang tertunduk, sewaktu angin danau membawa isak Naningga, pedih dan menyayat hati yang mendengar.

"Mengapa, Yang Mulia, kekurangan apa yang membuat titahmu berubah?" tanya Naningga di sela tangis kekecewaan yang mengawali kehancuran pagi hari yang tenang.

"Tidak ada yang berubah karena aku tak pernah memilihmu," ucap tenang Arsanaka. Duduk bersilang kaki saling berhadapan, terpisahkan meja panjang sebagai pembatas.

"Yang Mulia, pengesahan pemilihan lalu berdasarkan surat berstempel resmi kerajaaan. Paduka menyetujui aku; putri Harsa terpilih sebagai pendampingmu. Tidakkah artinya, Yang Mulia, mengingkari janji sendiri."

Arsakana menatap Naningga dengan pandangan penuh belas kasihan. "Aku tak bisa memaksakan hatiku untuk mencintai seseorang yang bukan pilihanku sendiri, Naningga. Kamu adalah pilihan ibuku. Aku menghormatimu, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan."

Naningga menundukkan kepala, air matanya jatuh tanpa henti. "Apa yang harus aku katakan kepada ayah dan ibu?"

"Aku sudah mengirimkan surat resmi kepada mereka. Keputusan ini final dan tidak bisa diubah," jawab Arsakana dengan suara tegas.

"Ayah sudah tahu?" tanya Naningga, wajah jelitanya memucat. Diputar gelisah cincin di jari tangan, membiaskan raut ketakutan ibunya atas murka sang ayah.

"Beliaulah orang yang pertama mengetahui hal ini."

Naningga terkesiap halus. Tubuhnya mendekat ke arah Arsakana, yang memberi tatapan peringatan. Meski tajam mata Sang Raja, Naningga berusaha kuat, mengabaikan rasa malu dan ketakutan. Dia bersimpuh meraih tangan Arsakana.

"Yang Mulia, kumohon... pertimbangkan kembali. Jika engkau menginginkan sesuatu dariku, katakanlah. Aku siap melakukan apapun. Jangan biarkan ayahku murka dan melampiaskan amarahnya kepada ibuku. Mereka bergantung padaku, pada pernikahan ini. Aku rela berkorban untuk mereka," ujarnya dengan suara bergetar penuh rasa putus asa.

Arsakana menarik tangannya perlahan, melepaskan diri dari genggaman Naningga. "Naningga, ini bukan soal pengorbananmu. Ini tentang hatiku. Aku tidak bisa mengubah perasaanku hanya karena tekanan atau tuntutan. Denting adalah pilihanku, bukan karena apapun selain perasaanku yang tulus."

Kali pertama Arsakana berbicara panjang lebar untuknya, dan kalimat pertama itu bukanlah yang dikehendaki oleh Naningga. Nama gadis yang terus dibicarakan semua orang bergaung. Ia bahkan tidak bisa menghadiri Perayaan Panen Raya karena Harsa melarang ikut serta.

Jangan tunjukkan wajahmu. Ibumu yang tak becus sudah salah mendidik kamu, Naningga. Sekarang Ayah dan paman harus berjuang, harapan kita ada di Panen Raya.

Wanita Sang RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang