42. Percikan api di Aula Dewan

64 2 4
                                    

Hari masih pagi ketika Harsa memasuki ruang rapat Dewan Kerajaan. Ruangan itu megah, dengan pilar-pilar besar yang menopang langit-langit tinggi dan hiasan dinding yang menggambarkan sejarah panjang kerajaan Bumantara. Di tengah ruangan, terdapat meja bundar besar di mana para anggota Dewan Kerajaan duduk dengan wajah serius. Harsa, dengan langkah mantap, berjalan menuju meja tersebut. Di tangannya, ia membawa sebuah gulungan surat yang akan mengubah segalanya.

Ketua Dewan, Caraka, seorang laki-laki tegas dengan sorot mata tajam, memandang Harsa dengan penuh minat. Caraka dikenal sebagai pemimpin yang adil dan netral, selalu mengutamakan kepentingan kerajaan di atas segala-galanya.

"Selamat pagi, Tuan Harsa," sapa Caraka dengan suara beratnya yang khas. "Apa yang membuat Anda datang ke sini dengan tergesa-gesa?"

Harsa menunduk sedikit sebagai tanda hormat sebelum berbicara. "Selamat pagi, Yang Mulia Ketua Dewan dan para anggota terhormat. Aku datang membawa bukti penting yang menyangkut kehormatan keluarga Prabawana dan kestabilan kerajaan."

Suaranya terdengar memelas, kerut di dahi bergerak berkali-kali, sepasang mata mengedar pandang ke semua anggota dewan kerajaan yang hadir. Di dalam hati, ia bersorak 'sebentar lagi Arsakana akan sadar dengan lagak arogannya'.

"Apa bukti penting yang kamu bawa, Harsa?" tanya Caraka, rapat rutin mereka secara mendadak menerima tamu, dan ia penasaran kepentingan macam apa yang membuat Harsa berani melakukannya.

Dengan hati-hati, Harsa meletakkan gulungan surat itu di atas meja dan membukanya. Ia memperlihatkan surat-surat cinta dari Raja Arsakana kepada Denting, bukti tak terbantahkan tentang hubungan gelap mereka.

Caraka mengamati surat-surat itu dengan seksama, wajahnya semakin mengeras setiap kali ia membaca satu persatu kalimat penuh kasih sayang dari Raja kepada Denting. Ia mengenal tulisan Arsakana sedari Sang Raja belajar menulis. Tidak diragukan keaslian surat cinta ini. Setelah selesai, ia menatap Harsa dengan mata yang berkilat marah.

Calon permaisuriku, tidak lama lagi. Waktu kita akan tiba. Aku akan memperkenalkannu di Panen Raya nanti.

"Ini sungguh keterlaluan!" suara Caraka bergetar menahan emosi di aula. "Raja Arsakana telah bertindak tanpa sepengetahuan dan persetujuan Dewan Kerajaan. Ia menentukan pergantian calon ratu tanpa melibatkan kami, tanpa menghargai aturan yang telah kita sepakati bersama."

Para anggota Dewan lainnya berbisik-bisik, menunjukkan ketidakpuasan mereka. Harsa memasang wajah mengiba, menyampaikan perasaan terzalimi sebagai ayah dari calon permaisuri sah, Naningga.

"Yang Mulia Ketua Dewan, bayangkan penderitaan keluarga kami," kata Harsa dengan suara bergetar. "Putri kami, Naningga, yang telah dipersiapkan menjadi permaisuri, kini diabaikan begitu saja. Kami merasa terkhianati. Bagaimana mungkin Raja bisa melakukan ini tanpa menghormati Dewan dan keluarga kami?"

"Kami akan menyelidikinya, Tuan Harsa."

Semangat Harsa kian berkobar, Dewan Kerajaan berada di pihaknya. "Aku dengar gadis itu berada di kastil, dan desas-desusnya akan diperkenalkan pada Panen Raya."'

Mata Caraka terpicing "Kastil merupakan tempat untuk tamu penting kerajaan."

"Periksalah, Yang Mulia Ketua Dewan. Aku tak berani bohong."

Caraka memandang Harsa dengan penuh simpati, namun tetap dengan sikap tegas. "Tuan Harsa, kami memahami perasaan Anda. Ini bukan hanya tentang keluarga Anda, tapi tentang pelanggaran terhadap tata tertib kerajaan. Jika Raja bisa bertindak semena-mena seperti ini, maka apa gunanya Dewan Kerajaan?"

Salah satu anggota Dewan, seorang pria tua dengan janggut putih panjang, angkat bicara. "Ketua Dewan, kita harus bertindak. Jika tidak, ini akan menjadi sejarah buruk bagi masa depan kerajaan."

Wanita Sang RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang