Pagi ini dirumah satu lantai disalah satu kawasan, sudah mulai produktif sejak pagi. Ada yang menyiapkan sarapan, menyiapkan perlengkapan sekolah dan menyiapkan alatnya untuk mengajar.
"Sudah semuanya mas?" tanya seorang wanita disana.
"Sudah bu." jawab sang anak.
"Lan, pulang jam berapa?" tanya laki laki dewasa disana. Lan? benar ini adalah rumah Alan. Laki laki dewasa itu ayahnya yang bernama Adji Tino. Dan wanita satu satunya dirumah itu adalah ibunya Ria Kurnia.
"Kayanya kaya kemarin yah, soalnya belum mulai extra nya." jelas Alan sembari memakan sarapannya. Cukup simple hanya dengan telur ceplok dan nasi putih.
"Uang saku nya udah ibu taruh di meja belajar kamu, udah lihat kan?" tanya Ria yang dibalas anggukan oleh Alan. Amplop coklat itu sudah berisi uang sakunya selama 1 bulan. Dan uang bensin. Dengan nominal 1juta satu bulan dan uang bensin 200.000. Semua kebutuhan kecil Alan harus bisa tercover dengan uang itu. Karena ibu dan ayahnya membiasakan untuk tak meminta lagi kecuali untuk kewajiban sekolah.
"Sudah."
"Terus gimana kelas barunya? ada temen yang kenal?" tanya Adji.
"Sekelas sama Jake sama Jayden kebetulan. Dan gara gara mereka aku jadi ketua kelas." cerita Alan.
"Keren." puji Adji.
"Keren apanya sih yah? aku jadi tambah ribet. Aku pengennya nggak punya jabatan apa apa biar bebas." jelas Alan. Ia tau tugas ketua kelas itu rumit gara gara Jayden. Jayden hampir setiap sebulan sekali akan rapat apalagi kalau mendekati event. Pasti bakal rapat bak osis.
"Tapi kamu dulu kan wakil osis?"
"Ya dulu, aku sekarang males. Kebanyakan rapat, mending kalau rapat disekolah. Aku liat mereka sering ajak nongkrong dulu, aku nggak nyaman." jelas Alan jujur. Selain nggak nyaman ia juga tak terbiasa untuk nongkrong di cafe cafe fancy ibu kota.
"Dinikmati dulu aja, besok kalau memang mengharuskan rapat diluar. Nanti ayah transfer buat jajan, ayah paham anak sekarang Alan." ucap Adji menenangkan. Dirinya tau resiko menyekolahkan Alan di sekolah sebesar Naiad Island. Bahkan ketika melihat Alan bersekolah naik motor matic nya membuat dirinya sedikit merasa rendah. Alan saja santai tapi ia selalu berusaha untuk membuat Alan tidak malu bersanding dengan teman teman kelas atasnya.
"Kalau rapat diluar ya aku tinggal nggak ikut. Aku sampai kapanpun nggak bakal ikut rapat kalau ditempat mewah kaya gitu." Alan ini tak seperti anak laki laki seumurannya yang suka nongkrong ditempat seperti itu. Memaksa diri agar terlihat kaya.
"Kamu bisa coba mas, biar kamu juga ada pengalaman kesana. Jangan merendah terus, ibu juga senang kalau kamu ada pengalaman seperti itu. Nanti bisa ceritakan kan dirumah." saut Ria. Alan tak suka ia menikmati hal hal mewah kalau ibu dan ayahnya tidak.
"Nggak. Udah aku mau berangkat." pamitnya. Dia sudah mengatakan akan berangkat lebih cepat pagi ini. Menyalami tangan kedua orang tuanya dan menuju motor yang sudah disiapkan diteras depan rumah berjajar dengan motor manual milik ayahnya dan motor matic kecil milik ibunya.
"Hati hati." ucapan itu membuat Alan kembali semangat untuk bersekolah.
Perjalanan dari rumahnya kesekolah sekitar 20 menit. Melewati jalan besar bahkan jalan perkampungan dan akhirnya memasuki gerbang megah dengan tulisan mewah milik sekolahnya. Melajukan motornya dengan pelan ketempat parkir yang memang sudah menjadi tempatnya.
Sepi. Sekolah ini masih sepi.
Melepas helmnya kemudian berjalan santai menuju sekolah dan tak sengaja matanya melihat esistensi teman sekelasnya yang akan jadi partner piketnya hari ini. Serena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Rythm
Roman pour Adolescents[IRAMA'S SERIES 2] Sense Of Rythm adalah sebuah rasa dari sebuah irama. Tak seperti sebelumnya, cinta yang baru saja timbul tanpa alasan. Saling mencari dan berusaha mendapatkan. Hingga menemukan sebuah 'rasa' dalam irama. Rumit, menyebalkan, lelah...