بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان و بلغنا رمضان
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
'Untuk mencapai sesuatu yang diinginkan itu butuh proses, perbanyak ikhtiar dan sabar.'
___________Kedua mataku digenangi air ketika melihat Ibu dan para kerabatku tampak menyambut kedatangan kami di depan rumah.
Senyum ibu berikan ketika rombongan kami kian mendekat, bahkan ketika jarak kami terkikis aku langsung saja menghampiri ibu, mencium tangannya lalu memeluk erat. Tangisku akhirnya pecah, melepas rindu membuncah setelah keputusanku kembali ke pondok. Permasalahan rumit sebelumnya tentu sudah usai, tapi rasanya masih ada yang perlu dituntaskan. Inilah saatnya.
"Nangisnya disudahin, anak Ibu harus senyum, ini hari bahagia buat kamu, Nduk." Ibu mengurai pelukanku, mengusap sisa air mataku.
Sambutan hangat keluargaku berikan pada rombongan kami, mempersilahkan duduk di hamparan tikar sederhana ruang tamu. Suguhan makanan ringan di atas piring dan minuman juga sudah tertata di sana.
Obrolan ringan mengalir, topik sederhana mengenai suasana kampung tempatku tinggal hingga sawah yang sebelumnya ditanami jagung tapi kali ini ditanami padi mengingat sudah memasuki musim hujan, waktu paling tepat menanam padi.
Obrolan serius dimulai ketika Pakde Danu bertugas sebagai juru bicara pihak keluargaku mempersilahkan keluarga juragan mengutarakan maksud kedatangan.
Abah langsung mengutarakan maksud kedatangan rombongannya lalu mempersilakan juragan yang berniat serius padaku menyampaikan tujuannya.
Juragan menatapku sekilas sembari mengulas senyum. Dengan mengucap basmalah ia mengatakan bahwa ingin membawa hubungan kami segera sah bukan dimata agama saja.
Perkiraanku sebelumnya ternyata meleset, ini bukan lamaran tapi pertemuan untuk rencana pernikahan resmi kami.
"Ibu, saya mohon ijin meresmikan hubungan kami di mata negara juga," ucapnya lembut.
Sosok yang duduk di depanku ini memandangku lagi usai meminta ijin pada Ibu.
Usapan Ibu berikan di punggung tanganku, memberi pertanda inilah jalan kehidupan untukku yang harus kuterima. Persetujuan Ibu atas ijin juragan diberikan usai anggukan pelan dariku. Ucapan hamdalah terdengar setelah itu.
Semuanya seolah sudah benar-benar telah direncanakan juragan, ia bahkan meminta pernikahan kami di gelar tiga hari lagi. Ibu sempat terkejut serta kebingungan ketika Juragan mendadak meminta pernikahan kami segera dilangsungkan, tentu acara pernikahan pasti harus mempersiapkan banyak hal dan itu tidak sebentar. Apakah bisa?
Umi yang duduk di samping Ibu menenangkan beliau, meyakinkan tidak ada yang perlu dicemaskan perihal rencana pernikahan kami. Semua yang diperlukan sudah jauh hari disiapkan putranya, bahkan untuk pengajuan pun di kantor KUA sudah dibicarakan pada pegawainya.
Setelah obrolan panjang mengenai acara pernikahan kami selesai, ibu memintaku untuk tinggal di rumah sebelum acara pernikahan itupun juga disetujui oleh Umi. Seperti pingitan, pasangan sementara waktu dipisahkan meski kenyataannya kami sudah suami istri.
Sebelum juragan sekeluarga pamit, mereka memberikan waktu padaku dan juragan untuk berbicara. Hal itu tentu tak akan kusia-siakan untuk bertanya pada juragan tentang maksudnya.
Kami memutuskan keluar rumah, juragan membawaku menuju gubuk kayu kecil, tempat yang menjadi saksi pertemuan pertama kami. Duduk bersisian di atas dipan kayu, menatap hamparan tanaman padi yang tersaji di depan.
"Nduk, tanyakan jika ada yang mengganggu pikiranmu?" pintanya, tau akan kebingunganku.
"Apa ini tidak terlalu cepat, Gus? " tanyaku. Jujur saja yang ku tau kedatangan rombongan kami dari pondok kemari untuk acara lamaran saja.
Aku memperhatikan sosok pria berkulit putih di sampingku inj, ia masih fokus menatap jajaran tanaman padi yang menguning dengan dua sudut bibir tertarik ke atas.
Ia menoleh, kedua matanya seketika bertemu netraku. "Mboten, bahkan ini malah sudah sangat terlambat, Nduk. Sudah dua tahun kamu hanya berstatus sebagai istri sah dimata agama saja."
Aku diam, menarik napas dalam. Berusaha menghalau lagi keraguan yang masih saja mengganggu meski alasan darinya benar.
"Tidak usah memikirkan sesuatu yang bukan ranah kita, Nduk. Ucapan dan pikiran orang lain tidak bisa kita kendalikan. Husnudzon mawon," sambungnya tepat sasaran. Kecemasanku akan sikap dan pikiran orang lain perihal pernikahan kami langsung ditepisnya.
"Untuk mencapai sesuatu yang diinginkan itu butuh proses, perbanyak ikhtiar dan sabar," imbuhnya, memberitahu bahwa kami harus lebih baik lagi ikhtiar dan sabarnya.
Ikhtiar yang dimaksud olehnya adalah dengan meresmikan hubungan kami di mata hukum negara dan sabar yang dibutuhkan saat ini adalah menutup telinga ketika mendengar kalimat kurang baik dari orang lain tentang hubungan kami. Harusnya aku lebih tenang karena pada dasarnya pernikahan kami sudah sah secara agama hanya tinggal menunggu tercatat resmi oleh negara.
"Gus, tapi saya masih belum siap. Bolehkah saya meminta untuk sementara waktu kabar pernikahan dan status kita dirahasiakan?" ucapku lirih dengan ragu yang masih ada.
Terdengar juragan menghela napas, menepuk puncak kepalaku pelan. "Boleh, tapi dengan dua persyaratan," jawabnya pelan tanpa amarah yang sempat terlintas dipikiranku.
Kurasakan juragan mengaitkan jemari kami, mengangkatnya lalu menunjuk jari manisku. "Biarkan cincin kawin yang nanti saya berikan tetap berdiam disini sebagai bukti hubungan kita."
Juragan menjeda ucapannya, merapatkan tubuh kami.
"Lalu apa lagi, Gus? " tanyaku memastikan.
"Kamu juga harus tetap tinggal di ndalem, " pungkasnya tegas serupa perintah. Hal itu berhasil membungkamku yang sebelumnya berniat akan minta ijin kembali tinggal di pondok. Semua itu akhirnya urung kusampaikan.
Sebelum kami kembali ke rumah ia mengambil sesuatu dalam saku bajunya, menyerahkan sebuah kotak perhiasan kecil padaku.
"Apa ini, Gus? "
"Titipan dari Kia," Jawabnya singkat sebelum kutanya maksud ucapnya lebih lengkap.
Juragan mengatakan bahwa adik kembarannya memang sejak lama ingin memberikan cincin perak itu pada istri dari kakaknya. Pada akhirnya cincin itu sekarang diberikan padaku yang kini berstatus sebagai istri kakaknya.
Kami sampai rumah tepat ketika Abah, Umi serta rombongan akan berpamitan pulang. Aku dan juragan langsung menghampiri mereka. Kembali pemakluman diberikan pada kami.
"Kami pulang dulu, ya. Tunggu kami datang lagi." Umi mengatakan itu padaku sebelum benar-benar pergi.
Juragan yang turut serta berpamitan kini berdiri di hadapanku usai bersalaman dengan anggota keluargaku yang lain. Satu tangannya menariku masuk dalam pelukannya sembari berbisik, "tunggu saya datang menjemputmu lagi, Nduk."
Aku melepas kepergian keluarga juragan dengan senyum. Menanti kedatangan mereka lagi untuk acara sakralku dan juragan.
Ya Allah, hanya doa yang bisa kupanjatkan untuk kelancaran acara kami mendatang. Permudahkan segala urusannya.
***
Maaf njih lama absen🙏
Ini waktu update tadi malem entah udah masuk tgl 1 atau belum.Selasa malam
Semarang
31 Desember 2024
1 Rajab 1446 H

KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpiritualSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...