-𝑇𝑎𝑝𝑖 𝑠𝑎𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘? -

1.8K 312 48
                                    

-happy reading 🍑
-sorry for typo(s)

🍑

Arya kembali ke rumah sakit setelah mengantar pulang anak juga tiga keponakannya. Walaupun ruangan yang Asaa tempati memiliki fasilitas yang cukup nyaman untuk orang-orang yang menunggu tapi tetap saja anak kecil tidak baik ada di rumah sakit lama-lama, jadi Adrian memaksa tiga kembar untuk pulang bersama Agler dan Omnya.

Asaa sudah tidur, keadaannya sudah jauh lebih baik, makanan terakhir yang ia makan tidak berakhir keluar lagi, infus di tangannya juga sudah tidak lagi ada, bisa dibilang Asaa sudah ditahap pemulihan.

Saat masuk ruangan, hening menjadi hal yang pertama Arya temukan. Si kecil tidur dan si besar yang menjaganya pun terlihat tertidur juga di kursi sofa. Arya lebih dulu menghampiri keponakannya, membenarkan posisi tidur dan selimut yang si keponakan gunakan, sebelum kemudian ia menghampiri kembarannya.

"Kak, tidur di kamar gih, istirahat sana," ujarnya, seraya membereskan sampah dan bekas makan yang masih belum dibereskan di meja.

Tidak ada jawaban dari Adrian, membuat Arya menghela dan berniat menepuk pipi kembarannya itu agar terbangun. Tapi perbedaan suhu yang ia rasakan membuatnya melotot heboh, walaupun sejak sore tadi ia sudah feeling jika pasti saudara kembarnya itu akan berakhir seperti sekarang.

"Ali bangun heh," ujarnya, malah semakin menepuk-nepuk pipi Adrian.

"Shhh sakit bego."

Tatapan datar Arya berikan saat kini kembarannya itu sudah membuka matanya. Wajahnya memerah, tentu saja karena suhu tubuhnya yang meninggi. Sepertinya Arya kecolongan, ia dan Abang itu selalu mengingatkan Adrian untuk menjaga kesehatannya, untuk selalu meminum vitamin dan menjaga pola makannya, bahkan terkadang mereka sendiri yang turun tangan untuk mengurus itu. Itu lah mengapa Adrian jarang sekali sakit. Adrian juga selama ini bisa bekerja sama, ia paham tanggung jawabnya bukan hanya dirinya saja, maka ia berusaha untuk tetap sehat agar semua tanggung jawab bisa ia handle dengan baik.

"Lo sakit, Kak. Minta infus sana atau minta obat, abis itu istirahat di kamar. Asaa biar gue jagain, udah mulai membaik juga anaknya."

Gelengan yang menjadi jawab atas titahnya, Adrian menggelengkan kepalanya seraya mendudukkan dirinya.

"Gue nggak pa-pa, cuman butuh tidur dikit. Capek," ujarnya.

"Jangan batu deh, nggap pa-pa nggak pa-pa mulu tau-tau mati."

Adrian menendang kaki si kembaran yang kalo udah begini omongannya selalu mengarah ke arah sana tanpa bisa difilter. Adrian kan takut mati, nanti anak-anaknya sama siapa kalo dia mati, mana dia juga belum ketemu si mantan istri, Adrian juga belum marah-marah di depan muka mantan mertuanya.

"Yaudah, gue titip dulu" ujarnya.

Adrian hendak pergi sendiri, tapi suhu tubuhnya yang meninggi membuat tenaganya rasanya menghilang entah kemana, padahal beberapa jam lalu ia masih sanggup menjahili anak-anaknya bahkan membuatnya menangis karena kesal dijahili Papanya.

"Ko aduh tulang gue ilang Ko," keluhnya, kembali mendudukkan dirinya dan bersandar pada sandaran sofa.

Arya berdecak malas, laki-laki kalo sakit tuh kadang suka lebay, walaupun ia juga laki-laki sih. Arya juga jika demam sedikit rasanya kaya mau mati, bahkan Agler aja sampai jengah karena Papanya itu sama sekali nggak mau ditinggal, padahal yang anak itu dia ini malah yang rewel bapaknya.

"Gue panggilin dokternya aja dah, lu sini aja. Nanti tulang lo makin ilang semua."

"Iya, sama beliin makan tolong gue laper."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[9] Rafan's Daily || 𝙽𝚌𝚝⁰⁰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang