-𝐾𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑎𝑘𝑢 𝐴𝑏𝑎𝑛𝑔-

1.8K 388 81
                                    


-happy reading 🌼
-sorry for typo(s)

🍑

Sekitar pukul 20.30 tadi Asaa sudah sempat bangun, tapi hanya sebentar, hanya mengeluh haus dan meminta minum. Di ajak bicara oleh tiga Abangnya pun hanya mengangguk saja responnya, kemudian tak lama tidur kembali. Sampai sekarang, sampai sudah tengah malam dan tiga Abangnya juga sudah tertidur di kamar di ruangannya.

Kini Asaa hanya ditemani Papa yang masih setia duduk di kursi di samping ranjang si bungsu. Adrian juga menunggu bungsunya bangun, Adrian belum sempat menanyakan bagaimana keadaan bungsunya itu langsung, tapi si bungsu sudah lebih dulu kembali lelap. 

"Adek cape banget ya sampe tidurnya lama? Adek katanya mau Papa pulang, Papa udah pulang tapi Adek belum liat Papa sama sekali. Tadi Adek bangun Papa lagi keluar, Adek ngehindarin Papa ya sayang?"

"Adek? Adek biasanya kalo Papa udah pulang sembuh sakitnya kan? Kenapa sekarang enggak? Kenapa demamnya belum turun juga?"

Demam Asaa memang belum turun, sempat turun tapi naik lagi dan sampai sekarang belum turun lagi. Walaupun suhu tubuhnya terus naik turun tidak teratur, Asaanya tidak terpengaruh, Asaanya tetap betah terlelap. Adrian yang takut karenanya.

"Udah yuk bobonya, besok kan bisa bobo lagi. Adek, jagoan Papa, anak hebatnya Papa kita ngobrol yuk."

Adrian menghela napas, tangannya terus mengusap surai si bungsu. Lembut, rambut Asaa memang lembut, tidak tebal tapi halus sekali disentuh. Rambut si kembar sadari bayi memang tipis.

Adrian menyudahi usapannya. Netranya sudah berat untuk tetap terjaga, maka dari itu ia pergi ke kamar mandi untuk mengusap wajahnya dengan air untuk menghilangkan kantuk. Ia tidak bisa keluar untuk membeli kopi, siapa yang akan menjaga anak-anaknya di ruangan jika ia keluar.

"Eh...jagoan Papa bangun."

Wajah Adrian langsung dihiasi senyum, dengan terburu menghampiri jagoannya yang kini sudah bangun dan sedang menatapnya.

"Hey jagoan Papa. Gimana, apa yang Adek rasa?"

"Pusing, sakit."

Adrian mengangguk, memvalidasi rasa yang bungsunya sedang rasakan. Pusing pasti, demam sedikit saja pusing apalagi ini demam tinggi.

"Adek mau duduk? Atau mau apa? Minum?"

"Hiks... Papa... Mau muntah," rengeknya.

Adrian dengan sigap mengambil wadah yang disediakan di bawah ranjang, kemudian ia posisikan di depan si kecil, tapi kenyataannya tidak ada yang anak itu muntahkan.

"Papa... sakit."

Adrian menaruh kembali wadah ke tempatnya, kemudian memijat pelan tengkuk si kecil. Adrian paham bagaimana rasa sakitnya.

"Iya sayang, Papa tau."

"Peluk... hiks... peluk," pintanya.

Adrian menuruti, ia ikut duduk di ranjang si bungsu, memeluk tubuh kecil yang suhunya jauh berbeda dengannya. Adrian juga usap lembut dan teratur punggung bungsunya, merasakan bagaimana panasnya tubuh si bungsu sekarang.

Sementara Asaa, ia tenggelamkan wajahnya pada dada Papa, ia peluk erat Papanya itu. Kepalanya pusing, bahkan rasanya dunianya berputar sesaat setelah ia membuka matanya. Maka saat tidak menemukan siapapun di sekitarnya kala terbangun tadi, anak kecil itu hampir menangis, walau pada akhirnya ia menangis juga kala ia tahu ada presensi Papa disekitarnya. Anak kecil itu hanya lega, sangat lega karena ia tidak sendiri ditengah sakitnya.

[9] Rafan's Daily || 𝙽𝚌𝚝⁰⁰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang