Pembuatan pintu itu selesai dalam waktu satu hari. Tiga orang tukang—yang aku yakin bukan tukang sembarangan—membentuknya dengan rapi. Pintu baja itu tidak seperti apa yang ada di bayanganku. Besar dan kokoh. Warnanya sama persis seperti warna tembok. Begitu tiga orang tukang dengan seragam rapi menjebol tembok dan memasang pintu, setelahnya hadir bapak-bapak gimbal dengan cat dan kuas yang beraneka ragam.
Aku duduk di teras rumahku bersama Belinda, Arsen, Juwanda, Cakra dan Julian. Apa yang kami lakukan? Tidak ada. Cuma mengamati bapak-bapak itu bekerja. Dia menyulap pintu baja menjadi tembok dalam satu kali pandang. Seni yang mirip sihir.
Akhirnya, pintu itu kami sebut sebagai pintu ajaib. Panggilan itu berasal dari idenya Julian.
Dan, seperti panggilannya, pintu itu benar-benar ajaib.
Pintu itu meningkatkan jumlah kunjung menjadi dua kali lipat. Sekarang, di hari Minggu, pintu itu pasti terbuka. Julian menyelinap bersama Belinda. Kadang Julian bersama Juwanda. Siapa pun yang muncul dari balik pintu, salah satunya pasti Julian.
Ibu sudah pasrah, berhenti melarangku bermain dengan anak-anak orang kaya ini. Ekspresi Ibu masih khawatir terkadang, tapi Ibu membiarkanku bermain di balik tembok. Juwanda menyeretku masuk dari pintu, muncul di belakang rumah Julian.
Aku sering melihat rumah-rumah orang kaya di televisi. Ada kolam renangnya. Namun di rumah Julian, tidak ada kolam renang. Belakang rumahnya berupa pekarangan hijau dengan beberapa pohon buah, ayunan dan sebuah trampolin besar.
Julian menyeringai ke arahku. "Kau suka rumahku?"
Aku mengangguk. "Rumahmu besar."
"Mau jadi pacarku? Nanti kau bisa main ke sini setiap hari."
Aku menggeleng tanpa berpikir panjang. "Bertamu setiap hari itu merepotkan."
Dari sisi rumah dekat trampolin, tiga orang lainnya datang. Belinda berjalan bersisian dengan Cakra dan Arsen. Begitu melihatku, dia langsung mengayunkan tangannya heboh. "Diah!" panggilnya. "Sini!"
Aku berlari ke arahnya.
***
Pintu ajaib itu membuatku bisa mendatangi rumah teman-teman satu per satu. Kami paling sering main di rumah Julian, tapi terkadang kami juga mendatangi rumah Arsen, Juwanda dan Belinda. Rumah Belinda lebih kecil dari rumah-rumah lainnya, tapi dipenuhi lukisan. Aku baru tahu kalau ayah Belinda ternyata adalah pelukis terkenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Подростковая литератураBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...