Aku mengawali tahun ajaran baru dengan berbohong.
Aku berbohong pada Belinda dan yang lain tentang sekolah yang akan kutuju. Kubilang pada mereka kalau aku akan masuk SMA negeri yang paling dekat dengan rumahku. Belinda menelan kekecewaan, tapi berlagak tegar. Dia menahan diri untuk tidak membujukku masuk SMA yang sama sepertinya.
Sampai hari di mana hasil kelulusan diumumkan, aku masih belum berani bicara jujur kalau aku akan masuk SMA yang sama dengan mereka. Di dalam kepalaku, pastilah aku malu kalau mereka tahu aku mencoba SMA yang sama seperti mereka dan tidak lulus nantinya. Tidak seperti Belinda dan yang lainnya yang memang berasal dari SMP yayasan yang sama, murid-murid dari SMP lain harus melakukan tes masuk yang cukup berat untuk mendaftar di SMA Boedi Dharma.
Aku masuk ke SMA itu, tapi tidak sekelas dengan Belinda dan yang lainnya. Nilaiku hanya bisa mengantarkanku ke kelas 1-3. Dengan sistem ranking yang ketat, aku sudah cukup puas dengan hasilnya.
Seragam SMA Boedi Dharma terasa pas dan halus. Pertama kalinya aku memakai seragam SMA yang tidak kelihatan seperti seragam SMA. Ada rompi abu-abu yang melapisi kemeja putih. Rok SMA Boedi Dharma berwarna abu-abu selutut dengan dua garis warna hitam di ujungnya. Sepatu kulit yang mahal dan terasa pas di kaki. Kaus kaki yang berwarna hitam, panjang hingga betis. Memakai seragam di hari pertama sekolahku terasa begitu canggung.
Namun jauh lebih canggung lagi saat Ayah mengantarkanku ke gerbang sekolah dengan sepeda motornya. Semua orang langsung menatapku, melihatku dengan takjub. Mungkin karena sepeda motor Ayah.
Aku mencium tangan Ayah. Ayah tersenyum dan menepuk kepalaku pelan. "Belajar yang rajin," kata Ayah.
Aku mengangguk. "Iya, Ayah."
"Ayah berangkat ke pabrik."
Aku mengangguk lagi. "Hati-hati, Yah."
Aku masuk sekolah dengan langkah pelan setelah melihat Ayah pergi dengan asap knalpotnya dan suara motor bebek yang halus.
Sekolah orang-orang kaya tidak seperti apa yang ditampilkan di film-film. Tidak ada orang-orang yang langsung mengejek atau semacamnya begitu orang miskin masuk ke sana. Tidak ada yang seperti itu. Semua orang sibuk sendiri. Kadang memperhatikan, tapi tidak bermaksud apa-apa. Aku bertanya pada beberapa orang tentang ruang kelas. Mereka menjawabnya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Never Comes
Teen FictionBerkat tembok bolong di samping rumahnya, Diah Safitri Armin menemukan lima sahabat baru. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk bikin kehebohan dan membuatnya jatuh cinta. Setidaknya, begitulah hingga delapan tahun kemudian. Sesuatu terjadi pada mer...